3. Masuk Sekolah Rakyat (SR)


Aku mengawali pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) yang berada di Desa Made pada tahun 1942. Di Watusomo atau Sambirejo belum ada sekolahan. Se-Kecamatan Slogohimo baru ada tiga Sekolahan yaitu di Desa Made, Slogohimo dan di Randusari.

Waktu itu aku berumur usia enam. Aku bersekolah saat tentara Jepang masih menduduki bumi nusantara. Guru pengajarku di SR Made antara lain Pak Rangga Sarwono Sastrowiryono dan Pak Mantri Guru Hadisumitro. Sebutan Rangga diberikan kepada kepala sekolah. Sementara mantri adalah untuk guru pengajar biasa.

Seorang guru pada masa penjajahan Jepang berbeda dengan para pendidik masa kini. Profesi guru kala itu murni untuk membantu mencerdaskan rakyat, bukan dilandasi semangat komersil. Meski menerima upah yang sangat minim, mereka tetap setia mencurahkan tenaga demi para anak didik.

Di bawah kolonialis negara berjuluk matahari terbit, para guru Sekolah Rakyat diwajibkan mengajarkan bahasa Jepang kepada siswa. Sementara bahasa Jepang sendiri sangat rumit. Seingatku, bahasa kaum Shogun ini memiliki perbedaan dengan bahasa latin. Jika latin menggunakan huruf abjad, bahasa Jepang memakai Hiragana, Katagana dan Kanji. Terkadang melihat saja membuat kepala pening, apalagi menulis dengan benar. Kalau lagu kebangsaan mereka Kimigayo mungkin sedikit lebih mudah. Namun, aku bisa melalui itu semua.

Para guru memiliki ciri khas dalam mengajar. Mereka menggunakan pengantar dalam bahasa Jawa saat memberi pengajaran. Sejalan dengan itu, Rangga dan Mantri di Sekolah Rakyat memakai busana dhestrar dan bersarung kain batik. Layaknya punggawa kraton, mereka kelihatan gagah dan necis. Kami di SR Desa Made diajar membaca, berhitung dan menulis.

Belum ada buku tulis kala itu. Semua siswa hanya menggunakan alat tulis berupa sabak, batu hitam seukuran map, dengan alat tulis beripa grip, potongan batu putih yang diruncingkan berfungsi sebagai pensil. Setiap ganti mata pelajaran maka sabak harus dihapus, sehingga ketika itu siswa tidak sempat mempunyai catatan. Benar-benar mengandalkan kemampuan daya ingat! Maka, dijamin menjadi anak bodoh kalau tidak mendengarkan guru saat memberi pelajaran. Tidak jarang guru ‘menggoda’ siswa dengan berbicara sangat pelan.

Jarak rumah dengan tempatku belajar kurang lebih lima kilo. Setiap hari aku menempuh perjalanan ke sekolah dengan berjalan kaki. Usai menunaikan sholat subuh, aku berangkat ke sekolah melewati bukit terjal dan mengarungi aliran sungai Bogowonto. Sungai itu juga menjadi saksi bisu ketika tubuh kecil dan kurusku tiap pagi mandi disana, sekalian berangkat sekolah. Cukup hanya bening air sungai dan batu sebagai penggosok kulit. Tanpa sabun ataupun sampoo, kadang-kadang hanya pakai daun lamtoro sebagai pengganti sabun, dan lempung putih sebagai sampoo.

Namun, perjalanan itu tidaklah mudah. Selain jarak tempuh yang cukup jauh, aku hanya bertelanjang kaki saat bersekolah. Terkadang kulit telapak kaki mengelupas takala menapak batu terjal nan panas. Seingatku memang belum ada murid yang memakai sepatu kala itu, semua nyeker alias telanjang kaki. Namun, aku memiliki teman yang sudah diantar dengan naik sepeda onthel oleh pak liknya manakala berangkat ke sekolah. Gadis kecil itu bernama Sutarmi dan Mini. Ia adalah anak perempuan Bapak Sumarso, Kepala Desa di Sambireja.

Selain Sutarmi dan Mini, aku juga memiliki teman sekelas lainnya saat menuntut limu di SR Made. Mereka adalah Waryatmi dan “si tomboy” Sumi. Sebagian besar teman-temanku berasal dari Desa Made dan Sambirejo. Wiryatmi adalah anak kepala desa Watusomo.

Temanku Sumi adalah Puteri Mbah Wir Ngemplak. Sumi memiliki perangai layaknya laki-laki. Karena tingkah Sumi itulah aku kerap memperlakukannya sebagai lelaki, memukul dan menyepak satu sama lain. Sungguh masa-masa yang menyenangkan dan tak akan terlupa.

Kemauanku menuntut ilmu di sekolah begitu kuat. Kebetulan almarhum kakek, Mbah Wonorejo, mempunyai pikiran maju. Maklum kala itu eyang adalah mantan Kepala Desa Watusomo. Pernah kami sesaat istirahat membuang penat sehabis membajak sawah, kakek berujar padaku. Ia berikan restu atas niatku bersekolah. Ia berharap kelak aku akan menjadi pejabat desa seperti dirinya.

Kowe nek kepengin sekolah tak pengestoni le. Suk mben nek wis tamat milih dadi Bestuur (pegawai pamong praja, jaman Belanda).” Itulah kekudangan kakek yang ku tangkap sebagai pemacu untuk bersekolah. Keinginan dan doa eyang begitu membekas di dalam hatiku kala itu. Asa eyang kepadaku, bisa menyulut api semangat waktu problem belajar menghantui. Kekudangan menjadi sumber spirit yang tidak kunjung padam, terlebih ketika ditimpa berbagai kesulitan di sekolah.

Suatu cita-cita sederhana namun karena didorong doa dan ketulusan seorang kakek, menjadi kekuatan yang luar biasa. Akhirnya mimpi lelaki renta bernama Wonorejo terkabul. Aku berhasil tamat sekolah dan menjadi pegawai negeri, walau bukan seorang Bestuur atau Pangreh Praja.

Waktu berlalu dengan cepat. Selama sekolah di SR Made, aku memutuskan selalu mampir di rumah adik perempuan almarhum bapak. Itu kulakukan lantaran jarak yang teramat jauh dari rumah kakek menuju ke sekolah. Aku biasa menyebut bibi dengan nama Lik Seblong. Lik Seblong memiliki paras ayu moblong-moblong seperti putri kraton. Hidungnya mancung dan kulitnya putih bersih. Apabila rambut hitamnya terurai, ia seperti bidadari turun dari khayangan menebar salam sejahtera di kala senja. Kecantikannya itulah membuat masyarakat memberi julukan Seblong. Mbok Seblong, begitu warga desa memanggil perempuan elok rupa ini. Lik Seblong mempunyai suami bernama Lik Soma. Keluarga itu sangat bahagia. Namun sayang, tuhan belum juga menitipkan pasangan suami-istri ini seorang anak. Lik Seblong memperlakukan diriku sebagai anaknya sendiri. Seakan menemukan sosok seorang ibu, aku tak sungkan memanggil Lik Seblong dengan sebutan mbok.

Mbok Seblong sehari-hari mengandalkan hidup dari berdagang di pasar Watusomo. Dagangannya berupa gerabatan. Komoditas jualan Mbok Seblong, selalu laris manis diserbu pembeli. Mungkin mereka terkesima dengan parasnya yang cantik. Bisa juga karena barang yang dipajang simbok di lincak pasar paling komplit di antara pedagang lainnya. Setiap pagi hari, dagangan simbok harus dipanggul oleh empat orang lelaki bertubuh gegap. Itu karena jumlah barang jualan mbok yang teramat banyak. Terkadang aku ikut membantu mbok berjualan di pasar.

Sesekali aku menetap di rumah Mbok Seblong, aku senang tinggal disana karena ada seorang bocah laki-laki sepantaran bernama Sidi, dia teman sepermainan yang hebat. Sidi adalah anak Pak cilik Marto Saryono. Namun, berbeda denganku, Sidi tidak sekolah, dia seorang penggembala yang tangguh. Kelak di kemudian hari, Sidi tinggal di Semarang. Ia bekerja sebagai tukang dan petani yang tekun. Sampai usia senja, ia masih menganggap saya sebagai sahabat dekat, walau dari hubungan darah dia adalah adik sepupuku. Hubungan silaturahmi kami selalu terjaga hingga dia meninggal pada tahun 2000-an.

Semasa kecil aku senang sekali mengembalakan ternak. Aku memiliki kerbau jantan bernama Legi. Ia adalah kerbau jantan yang sangat tangguh. Badannya sekeras batu gunung, kulitnya sangat kaku dipenuhi bulu-bulu lembut. Aku sering menaiki punggung Si Legi ketika membajak sawah. Selain ditemani Si Legi, aku juga berkawan dengan Sunardi. Kelak Sunardi dan aku sama-sama menjadi guru. Sunardi memiliki hobi yang sama dengan ku. Ia senang membajak sawah.

Sunardi memiliki kerbau jatan yang diberi nama Lawung. Persahabatan kami berdua sama akrab dengan jalinan perasaan Si Legi dan Si Lawung. Proposi bandan kedua kerbau itu besarnya hampir sama. Si Legi sepakat kalau berpasangan dengan Lawung. Itu terlihat takala suatu hari Lawung meradang sakit dikandang, Lawung terserang penyakit kuku dan kulit. Walhasil, Sunardi dan Lawung tak beranjak pergi ke sawah. Aku sangat sedih kala itu. Terasa ada yang hampa bersama Lawung dan Sunardi ketika membajak sawah. Rupanya perasaan serupa menghinggapi Si Legi. Ia menjadi pemberontak dan susah diatur karena sahabatnya Si Lawung tak kunjung datang ke sawah.

Selain Sunardi, aku juga memiliki seorang kawan perempuan yang cantik. Ia selalu setia menghampiriku berangkat ke sekolah bernama Waryatmi. Ia anak gadis mantan Kepala Desa Watusomo. Seperti anak-anak keturunan pejabat desa, Waryatmi memiliki prilaku dan kepribadian layaknya priyayi. Ia dianugrahi Tuhan paras yang cantik. Kulitnya sawo matang, rambut hitamnya yang penjang tergerai dan matanya bulat rembulan. Yang masih teringat dari Waryatmi, ia selalu membawa bekal makanan dari rumah. Waryatmi selalu menyimpan bekal itu di dalam tas. Waryatmi paham betul tujuan sebenarnyanya membawa bekal makanan itu adalah untuk berbagi bersama diriku. Seolah Ia mengerti betul kesulitan keuangan yang aku jalani.

Aku memiliki kenangan tersendiri bersama Waryatmi, itu terjadi saat kami pulang dari sekolah. Waryatmi dan aku hampir tiap hari melintasi hutan Jati di alas Jagir, bagian hutan sebelah barat dari Alas Donoloyo, dan beberapa pemukiman warga di sekitar Desa Sambirejo. Hutan jati Donoloyo sangat menyeramkan. Hutan ini masih perawan, waktu itu belum terjamah tangan manusia.

Tiap hari kami berdua seperti biasa pulang sekolah dengan berjalan kaki. Dalam perjalanan itu, Aku dan Waryatmi menen-teng dua puluh buah tongkol jagung hasil panen di sekolah untuk dibawa pulang. Lalu perasaan kami tiba-tiba menyekam, seakan ada makhluk buas yang sedang mengincar. Kami berusaha menghalu rasa takut itu dengan berhenti sejenak. Mata kami menerawang di setiap sudut pepohonan, namun semua normal seperti biasa. Kami pun melanjutkan perjalanan.

Kemudian dari balik pepohonan tepat sekitar sepuluh langkah dari tempat kami berhenti, muncul sekawanan kera. Kawanan itu mengepung kami dari segala penjuru. Mata mereka nanar menatap dua buah tongkol jagung yang kami bawa. Ia sangat panik. Jeritnya memecah keheningan hutan jati Donoloyo. Muka gadis kecil ini berubah pucat. Akupun sempat kamitenggengen, teringat kenangan digendong kethek beberapa waktu lalu, aku tidak mau kejadian itu terulang lagi. Dalam kepanikan itu aku langsung berteriak kepada Waryatmi untuk segera membuang jagung yang saat itu ia genggam erat.

“Jagunge buangen!!! Buang... uncalnaaa!!!!” teriakku.
Aku berpikir kawanan kera itu hanya menginginkan jagung milik Waryatmi. Sejurus kemudian ia menatap jagung ditangannya dan membuang jauh ke arah kawanan kera. Instingku benar. Kera itu mengejar arah lemparan jagung sambil berebut dengan sesama kawanan.

Tanpa pikir panjang, kutarik tangan Waryatmi dan kupaksa berlari kencang.
“Lari.... mlayuuuuu. Ayo cepet,” begitu perintahku. Sambil bergandengan tangan aku dan Waryatmi berlari layaknya seekor rusa. Mata kami tak berani menoleh ke belakang. Yang ada dipikiran kami berdua hanya berlari kencang menyelamatkan nyawa.

Setelah beberapa menit berlalu kami menghentikan lang-kah. Dengan nafas tersengal dan peluh berjatuhan kami duduk diam. Mulut kami terkunci. Sementara kedua bola mata ini tak henti-henti menelisik lebih dalam. Alhamdulillah... saat itu kami sudah berada di luar hutan Donoloyo. Artinya kami berada di zona aman. Kawanan kera itu tak berani menjejakan kaki di luar hutan.

Menghilangkan letih sehabis menyelamatkan nyawa dari serangan kera, kami duduk di atas rumput hijau. Kemudian pandanganku berpaling ke arah tas Waryatmi. Tanpa sungkan, tanganku mulai mencari sepotong makanan yang biasa dibawa Waryatmi sebagai bekal sekolah. Setelah jemari ini melakukan pencarian jauh di dalam tas, akhirnya kutemukan apa yang aku cari. Sebuah ampyang. Ampyang adalah makanan tradisional yang terbuat dari gula Jawa dengan taburan kacang diatasnya. Kuambil makanan itu dan kulihat ada dua buah ampyang. Waryatmi hanya duduk terdiam. Kengerian itu tak pernah terbayang dipikirannya. Ia adalah gadis kecil lugu dari desa. Agar rasa takut itu menyingkir, maka kubagi manisan itu dengan Waryatmi. Tangan mungilnya masih gemetar. Sedikit demi sedikit ia mulutnya mulai mengunyah ampyang hingga tak tersisa.

Diam-diam aku merasa bahagia. Perasaan itu muncul karena aku terbukti sebagai laki-laki yang sanggup melindungi perempuan. Aku merasa seperti pahlawan. Layaknya Anoman yang berhasil menyelamatkan Dewi Shinta dari jeratan Prabu Rahwana di Negeri Alengka. “Ah... romantisme anak desa,” begitu gumamku. Hampir beberapa waktu kita terdiam. Hanya terdengar suara gemertak gigi saling bertubrukan dengan manisan ampyang. Setelah meludeskan makanan itu dari ditangan, kami saling bertatap mata. Bibir kami tersungging. Tawa renyah mulai mengalir bersama-sama.

Tahun 2009 lalu, aku bertemu dengan Waryatmi. Ia masih sehat dan cantik. Walau punya rumah di Watusomo, bekas Kranggan dulu, ia memilih tinggal bersama anaknya di Jatisrono. Walau sudah usia senja diujung mata, gurat-gurat kecantikan Waryatmi masih tersisa. Hubungan persahabatan kami abadi sampai sekarang. Saya anggap dia adalah sahabat karib. Sedulur sinarah wadi. Sampai sekarang kalau kami bertemu, saya selalu memberi salam persahabatan. Suaminya saat ini adalah Warno. Aku dan Warno adalah teman sewaktu kecil, jadi ia tahu persis perjuangan kami berdua.

Sedhahan


Blog punika mugi dados sarana kangge sarasehan dhumateng sedaya sanak kadang mitra rowang gegandhengan kaliyan Biografi H. Soeparno Hadimartono ingkang sampun dipun terbitaken rikala tanggal 20 Pebruari 2010.

Sumangga ingkang badhe nderek nyerat utawi maringi pamrayoga kula sumanggaken...

Mugi saget ndadosaken suka rena saha pikantuk seserepan ingkang migunani sak sampunipun maos Biografi punika.

Matur nuwun.