3. Masuk Sekolah Rakyat (SR)


Aku mengawali pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) yang berada di Desa Made pada tahun 1942. Di Watusomo atau Sambirejo belum ada sekolahan. Se-Kecamatan Slogohimo baru ada tiga Sekolahan yaitu di Desa Made, Slogohimo dan di Randusari.

Waktu itu aku berumur usia enam. Aku bersekolah saat tentara Jepang masih menduduki bumi nusantara. Guru pengajarku di SR Made antara lain Pak Rangga Sarwono Sastrowiryono dan Pak Mantri Guru Hadisumitro. Sebutan Rangga diberikan kepada kepala sekolah. Sementara mantri adalah untuk guru pengajar biasa.

Seorang guru pada masa penjajahan Jepang berbeda dengan para pendidik masa kini. Profesi guru kala itu murni untuk membantu mencerdaskan rakyat, bukan dilandasi semangat komersil. Meski menerima upah yang sangat minim, mereka tetap setia mencurahkan tenaga demi para anak didik.

Di bawah kolonialis negara berjuluk matahari terbit, para guru Sekolah Rakyat diwajibkan mengajarkan bahasa Jepang kepada siswa. Sementara bahasa Jepang sendiri sangat rumit. Seingatku, bahasa kaum Shogun ini memiliki perbedaan dengan bahasa latin. Jika latin menggunakan huruf abjad, bahasa Jepang memakai Hiragana, Katagana dan Kanji. Terkadang melihat saja membuat kepala pening, apalagi menulis dengan benar. Kalau lagu kebangsaan mereka Kimigayo mungkin sedikit lebih mudah. Namun, aku bisa melalui itu semua.

Para guru memiliki ciri khas dalam mengajar. Mereka menggunakan pengantar dalam bahasa Jawa saat memberi pengajaran. Sejalan dengan itu, Rangga dan Mantri di Sekolah Rakyat memakai busana dhestrar dan bersarung kain batik. Layaknya punggawa kraton, mereka kelihatan gagah dan necis. Kami di SR Desa Made diajar membaca, berhitung dan menulis.

Belum ada buku tulis kala itu. Semua siswa hanya menggunakan alat tulis berupa sabak, batu hitam seukuran map, dengan alat tulis beripa grip, potongan batu putih yang diruncingkan berfungsi sebagai pensil. Setiap ganti mata pelajaran maka sabak harus dihapus, sehingga ketika itu siswa tidak sempat mempunyai catatan. Benar-benar mengandalkan kemampuan daya ingat! Maka, dijamin menjadi anak bodoh kalau tidak mendengarkan guru saat memberi pelajaran. Tidak jarang guru ‘menggoda’ siswa dengan berbicara sangat pelan.

Jarak rumah dengan tempatku belajar kurang lebih lima kilo. Setiap hari aku menempuh perjalanan ke sekolah dengan berjalan kaki. Usai menunaikan sholat subuh, aku berangkat ke sekolah melewati bukit terjal dan mengarungi aliran sungai Bogowonto. Sungai itu juga menjadi saksi bisu ketika tubuh kecil dan kurusku tiap pagi mandi disana, sekalian berangkat sekolah. Cukup hanya bening air sungai dan batu sebagai penggosok kulit. Tanpa sabun ataupun sampoo, kadang-kadang hanya pakai daun lamtoro sebagai pengganti sabun, dan lempung putih sebagai sampoo.

Namun, perjalanan itu tidaklah mudah. Selain jarak tempuh yang cukup jauh, aku hanya bertelanjang kaki saat bersekolah. Terkadang kulit telapak kaki mengelupas takala menapak batu terjal nan panas. Seingatku memang belum ada murid yang memakai sepatu kala itu, semua nyeker alias telanjang kaki. Namun, aku memiliki teman yang sudah diantar dengan naik sepeda onthel oleh pak liknya manakala berangkat ke sekolah. Gadis kecil itu bernama Sutarmi dan Mini. Ia adalah anak perempuan Bapak Sumarso, Kepala Desa di Sambireja.

Selain Sutarmi dan Mini, aku juga memiliki teman sekelas lainnya saat menuntut limu di SR Made. Mereka adalah Waryatmi dan “si tomboy” Sumi. Sebagian besar teman-temanku berasal dari Desa Made dan Sambirejo. Wiryatmi adalah anak kepala desa Watusomo.

Temanku Sumi adalah Puteri Mbah Wir Ngemplak. Sumi memiliki perangai layaknya laki-laki. Karena tingkah Sumi itulah aku kerap memperlakukannya sebagai lelaki, memukul dan menyepak satu sama lain. Sungguh masa-masa yang menyenangkan dan tak akan terlupa.

Kemauanku menuntut ilmu di sekolah begitu kuat. Kebetulan almarhum kakek, Mbah Wonorejo, mempunyai pikiran maju. Maklum kala itu eyang adalah mantan Kepala Desa Watusomo. Pernah kami sesaat istirahat membuang penat sehabis membajak sawah, kakek berujar padaku. Ia berikan restu atas niatku bersekolah. Ia berharap kelak aku akan menjadi pejabat desa seperti dirinya.

Kowe nek kepengin sekolah tak pengestoni le. Suk mben nek wis tamat milih dadi Bestuur (pegawai pamong praja, jaman Belanda).” Itulah kekudangan kakek yang ku tangkap sebagai pemacu untuk bersekolah. Keinginan dan doa eyang begitu membekas di dalam hatiku kala itu. Asa eyang kepadaku, bisa menyulut api semangat waktu problem belajar menghantui. Kekudangan menjadi sumber spirit yang tidak kunjung padam, terlebih ketika ditimpa berbagai kesulitan di sekolah.

Suatu cita-cita sederhana namun karena didorong doa dan ketulusan seorang kakek, menjadi kekuatan yang luar biasa. Akhirnya mimpi lelaki renta bernama Wonorejo terkabul. Aku berhasil tamat sekolah dan menjadi pegawai negeri, walau bukan seorang Bestuur atau Pangreh Praja.

Waktu berlalu dengan cepat. Selama sekolah di SR Made, aku memutuskan selalu mampir di rumah adik perempuan almarhum bapak. Itu kulakukan lantaran jarak yang teramat jauh dari rumah kakek menuju ke sekolah. Aku biasa menyebut bibi dengan nama Lik Seblong. Lik Seblong memiliki paras ayu moblong-moblong seperti putri kraton. Hidungnya mancung dan kulitnya putih bersih. Apabila rambut hitamnya terurai, ia seperti bidadari turun dari khayangan menebar salam sejahtera di kala senja. Kecantikannya itulah membuat masyarakat memberi julukan Seblong. Mbok Seblong, begitu warga desa memanggil perempuan elok rupa ini. Lik Seblong mempunyai suami bernama Lik Soma. Keluarga itu sangat bahagia. Namun sayang, tuhan belum juga menitipkan pasangan suami-istri ini seorang anak. Lik Seblong memperlakukan diriku sebagai anaknya sendiri. Seakan menemukan sosok seorang ibu, aku tak sungkan memanggil Lik Seblong dengan sebutan mbok.

Mbok Seblong sehari-hari mengandalkan hidup dari berdagang di pasar Watusomo. Dagangannya berupa gerabatan. Komoditas jualan Mbok Seblong, selalu laris manis diserbu pembeli. Mungkin mereka terkesima dengan parasnya yang cantik. Bisa juga karena barang yang dipajang simbok di lincak pasar paling komplit di antara pedagang lainnya. Setiap pagi hari, dagangan simbok harus dipanggul oleh empat orang lelaki bertubuh gegap. Itu karena jumlah barang jualan mbok yang teramat banyak. Terkadang aku ikut membantu mbok berjualan di pasar.

Sesekali aku menetap di rumah Mbok Seblong, aku senang tinggal disana karena ada seorang bocah laki-laki sepantaran bernama Sidi, dia teman sepermainan yang hebat. Sidi adalah anak Pak cilik Marto Saryono. Namun, berbeda denganku, Sidi tidak sekolah, dia seorang penggembala yang tangguh. Kelak di kemudian hari, Sidi tinggal di Semarang. Ia bekerja sebagai tukang dan petani yang tekun. Sampai usia senja, ia masih menganggap saya sebagai sahabat dekat, walau dari hubungan darah dia adalah adik sepupuku. Hubungan silaturahmi kami selalu terjaga hingga dia meninggal pada tahun 2000-an.

Semasa kecil aku senang sekali mengembalakan ternak. Aku memiliki kerbau jantan bernama Legi. Ia adalah kerbau jantan yang sangat tangguh. Badannya sekeras batu gunung, kulitnya sangat kaku dipenuhi bulu-bulu lembut. Aku sering menaiki punggung Si Legi ketika membajak sawah. Selain ditemani Si Legi, aku juga berkawan dengan Sunardi. Kelak Sunardi dan aku sama-sama menjadi guru. Sunardi memiliki hobi yang sama dengan ku. Ia senang membajak sawah.

Sunardi memiliki kerbau jatan yang diberi nama Lawung. Persahabatan kami berdua sama akrab dengan jalinan perasaan Si Legi dan Si Lawung. Proposi bandan kedua kerbau itu besarnya hampir sama. Si Legi sepakat kalau berpasangan dengan Lawung. Itu terlihat takala suatu hari Lawung meradang sakit dikandang, Lawung terserang penyakit kuku dan kulit. Walhasil, Sunardi dan Lawung tak beranjak pergi ke sawah. Aku sangat sedih kala itu. Terasa ada yang hampa bersama Lawung dan Sunardi ketika membajak sawah. Rupanya perasaan serupa menghinggapi Si Legi. Ia menjadi pemberontak dan susah diatur karena sahabatnya Si Lawung tak kunjung datang ke sawah.

Selain Sunardi, aku juga memiliki seorang kawan perempuan yang cantik. Ia selalu setia menghampiriku berangkat ke sekolah bernama Waryatmi. Ia anak gadis mantan Kepala Desa Watusomo. Seperti anak-anak keturunan pejabat desa, Waryatmi memiliki prilaku dan kepribadian layaknya priyayi. Ia dianugrahi Tuhan paras yang cantik. Kulitnya sawo matang, rambut hitamnya yang penjang tergerai dan matanya bulat rembulan. Yang masih teringat dari Waryatmi, ia selalu membawa bekal makanan dari rumah. Waryatmi selalu menyimpan bekal itu di dalam tas. Waryatmi paham betul tujuan sebenarnyanya membawa bekal makanan itu adalah untuk berbagi bersama diriku. Seolah Ia mengerti betul kesulitan keuangan yang aku jalani.

Aku memiliki kenangan tersendiri bersama Waryatmi, itu terjadi saat kami pulang dari sekolah. Waryatmi dan aku hampir tiap hari melintasi hutan Jati di alas Jagir, bagian hutan sebelah barat dari Alas Donoloyo, dan beberapa pemukiman warga di sekitar Desa Sambirejo. Hutan jati Donoloyo sangat menyeramkan. Hutan ini masih perawan, waktu itu belum terjamah tangan manusia.

Tiap hari kami berdua seperti biasa pulang sekolah dengan berjalan kaki. Dalam perjalanan itu, Aku dan Waryatmi menen-teng dua puluh buah tongkol jagung hasil panen di sekolah untuk dibawa pulang. Lalu perasaan kami tiba-tiba menyekam, seakan ada makhluk buas yang sedang mengincar. Kami berusaha menghalu rasa takut itu dengan berhenti sejenak. Mata kami menerawang di setiap sudut pepohonan, namun semua normal seperti biasa. Kami pun melanjutkan perjalanan.

Kemudian dari balik pepohonan tepat sekitar sepuluh langkah dari tempat kami berhenti, muncul sekawanan kera. Kawanan itu mengepung kami dari segala penjuru. Mata mereka nanar menatap dua buah tongkol jagung yang kami bawa. Ia sangat panik. Jeritnya memecah keheningan hutan jati Donoloyo. Muka gadis kecil ini berubah pucat. Akupun sempat kamitenggengen, teringat kenangan digendong kethek beberapa waktu lalu, aku tidak mau kejadian itu terulang lagi. Dalam kepanikan itu aku langsung berteriak kepada Waryatmi untuk segera membuang jagung yang saat itu ia genggam erat.

“Jagunge buangen!!! Buang... uncalnaaa!!!!” teriakku.
Aku berpikir kawanan kera itu hanya menginginkan jagung milik Waryatmi. Sejurus kemudian ia menatap jagung ditangannya dan membuang jauh ke arah kawanan kera. Instingku benar. Kera itu mengejar arah lemparan jagung sambil berebut dengan sesama kawanan.

Tanpa pikir panjang, kutarik tangan Waryatmi dan kupaksa berlari kencang.
“Lari.... mlayuuuuu. Ayo cepet,” begitu perintahku. Sambil bergandengan tangan aku dan Waryatmi berlari layaknya seekor rusa. Mata kami tak berani menoleh ke belakang. Yang ada dipikiran kami berdua hanya berlari kencang menyelamatkan nyawa.

Setelah beberapa menit berlalu kami menghentikan lang-kah. Dengan nafas tersengal dan peluh berjatuhan kami duduk diam. Mulut kami terkunci. Sementara kedua bola mata ini tak henti-henti menelisik lebih dalam. Alhamdulillah... saat itu kami sudah berada di luar hutan Donoloyo. Artinya kami berada di zona aman. Kawanan kera itu tak berani menjejakan kaki di luar hutan.

Menghilangkan letih sehabis menyelamatkan nyawa dari serangan kera, kami duduk di atas rumput hijau. Kemudian pandanganku berpaling ke arah tas Waryatmi. Tanpa sungkan, tanganku mulai mencari sepotong makanan yang biasa dibawa Waryatmi sebagai bekal sekolah. Setelah jemari ini melakukan pencarian jauh di dalam tas, akhirnya kutemukan apa yang aku cari. Sebuah ampyang. Ampyang adalah makanan tradisional yang terbuat dari gula Jawa dengan taburan kacang diatasnya. Kuambil makanan itu dan kulihat ada dua buah ampyang. Waryatmi hanya duduk terdiam. Kengerian itu tak pernah terbayang dipikirannya. Ia adalah gadis kecil lugu dari desa. Agar rasa takut itu menyingkir, maka kubagi manisan itu dengan Waryatmi. Tangan mungilnya masih gemetar. Sedikit demi sedikit ia mulutnya mulai mengunyah ampyang hingga tak tersisa.

Diam-diam aku merasa bahagia. Perasaan itu muncul karena aku terbukti sebagai laki-laki yang sanggup melindungi perempuan. Aku merasa seperti pahlawan. Layaknya Anoman yang berhasil menyelamatkan Dewi Shinta dari jeratan Prabu Rahwana di Negeri Alengka. “Ah... romantisme anak desa,” begitu gumamku. Hampir beberapa waktu kita terdiam. Hanya terdengar suara gemertak gigi saling bertubrukan dengan manisan ampyang. Setelah meludeskan makanan itu dari ditangan, kami saling bertatap mata. Bibir kami tersungging. Tawa renyah mulai mengalir bersama-sama.

Tahun 2009 lalu, aku bertemu dengan Waryatmi. Ia masih sehat dan cantik. Walau punya rumah di Watusomo, bekas Kranggan dulu, ia memilih tinggal bersama anaknya di Jatisrono. Walau sudah usia senja diujung mata, gurat-gurat kecantikan Waryatmi masih tersisa. Hubungan persahabatan kami abadi sampai sekarang. Saya anggap dia adalah sahabat karib. Sedulur sinarah wadi. Sampai sekarang kalau kami bertemu, saya selalu memberi salam persahabatan. Suaminya saat ini adalah Warno. Aku dan Warno adalah teman sewaktu kecil, jadi ia tahu persis perjuangan kami berdua.

2. Digendhong Kethek


Semenjak bapak meninggal dunia dan simbok pergi merantau ke kota, aku tinggal bersama kakek di Desa Watusomo. Desa ini terletak di lereng hutan Donoloyo. Donoloyo memang dulu berupa rimba yang dipenuhi varietas tanaman umumnya tumbuh di wilayah tropis.

Sedangkan hutan ini terletak di ujung selatan Kecamatan Slogohimo, Kabupaten Wonogiri. Hutan Donoloyo pada waktu itu memang masih terlihat subur dan nampak lebih lebat dibandingkan keadaan sekarang. Perbedaan yang paling mencolok adalah kondisi air yang mengalir di sungai Bogowonto. Dulu airnya deras dan bening serta masih banyak ikan yang hidup dengan bebas. Tetapi kini airnya lebih keruh dan tidak sebesar dulu lagi. Sementara hutan Donoloyo, waktu dulu terkenal dengan gerombolan kera yang sering mengganggu ladang petani, tapi sekarang kera-kera itu telah punah berganti burung-burung bethet yang berjumlah ribuan.

Konon, binatang yang hidup di hutan Donoloyo adalah pertanda jaman. Ketika kera masih merajalela, hal itu menandakan bahwa penduduk di sekitarnya juga masih terbawa dengan kehidupan seperti layaknya sifat kera --hanya mencari makan dan mengganggu tanaman di ladang. Bila sekarang burung bethet yang merajalela di hutan Donoloyo diyakini kalau sifat masyarakatnya seperti halnya burung. Mereka mencari makan secara berpindah dan bersuara keras, namun tidak jelas nadanya.

Sedangkan Desa Watusomo sendiri terletak di pinggir hutan Donoloyo. Tidak seperti sekarang, pemandangan Desa Watusomo terlihat sangat kontras. Dahulu desa itu sangat sepi, belum banyak perumahan warga seperti sekarang. Sekeliling desa masih berbentuk hutan dan bukit. Terkadang, binatang buas seperti ular dan harimau masih kerap turun gunung. Mereka kerap berkeliaran di sepanjang hutan dan memasuki peternakan milik warga.

Pekerjaan yang rutin aku lakukan pada siang hari adalah bekerja di ladang. Mulai dari menanam pohong (ketela pohon), jagung maupun tanaman sayuran lainnya. Khusus untuk pekerjaan menjaga tanaman jagung sebelum panen, merupakan tugas yang cukup berbahaya. Pasalnya, ketika itu ladang yang berada di pinggir hutan Donoloyo masih banyak berkeliaran kethek (kera) dan babi hutan.

Suatu hari ketika diberi amanah kakek untuk menjaga tanaman jagung yang sudah hampir panen, tiba-tiba segerombolan kera berhamburan datang. Gerombolan kera tersebut tanpa permisi langsung menyerbu, layaknya pasukan kera Pancawati yang menyerang negeri Alengka dalam kisah pewayangan. Meski rasa takut menyergap, aku terpaksa memberanikan diri menghalau ratusan kera-kera itu dengan sebatang kayu. Tak hanya ayunan kayu, teriakan lantang pun kuarahkan kepada mereka. Aku berharap mereka segera menyingkir dari ladang. Namun, sejurus teriakan dan ayunan kayu tak membuat gerombolan kera itu mengendurkan niatnya. Mereka justru mengancamku dengan memperlihatkan taring runcingnya.

Karena serangan kera berjumlah ratusan, membuatku tak berdaya. Mereka rupanya memiliki strategi serangan yang tertata apik. Ketika aku mengusir gerombolan kera yang hendak mencabut singkong, kawanan lainnya mencuri kesempatan dengan mengambil jagung. Aku berpikir, mereka mempunyai akal dan insting mencuri yang bagus. Kerjasama mereka sangat kompak.

Selagi sibuk menghalau sekawanan kera, tiba-tiba di hadapanku muncul seekor kethek bangkotan, kera besar. Mungkin itulah sang raja kera. Badannya besar. Tingginya hampir sama dibandingkan anak usia enam tahun. Mengingatnya saja sudah membuat bulu kuduk merinding. Matanya merah menyala, taringnya besar dan tajam. Entah berapa lama aku berhenti bergerak. Yang teringat kaki dan tanganku terasa kaku, sulit untuk digerakan. Sejenak kera itu hanya diam sambil berdiri dengan kedua tangannya. Tak lama kemudian, kera itu menerjang dan mencengkram badanku dengan sangat keras. Aku terpelanting jatuh hingga terbanting ke tanah lalu semaput, tak sadarkan diri. 

Mungkin, lantaran melihat tubuhku tak lagi bergerak, aku dianggap takluk dan mati. Sebagai tawanan perang, raja kera yang mirip Subali—salah satu tokoh di cerita pewayangan--aku dipanggul memanjat ke atas sebuah pohon Jati. Kemudian kera itu membaringkan tubuhku tepat di antara dua cabang besar. Beruntung aku tak sadarkan diri. Mungkin akan lain ceritanya jika aku terbangun dan mulai bergerak. Pastinya cabang pohon Jati itu tak akan sanggup menahan gerak tubuhku, dan akupun tentu akan meluncur jatuh dan terbanting ke tanah.

Entah berapa lama aku pingsan di atas pohon. Menurut cerita masyarakat desa, aku masih beruntung bisa diselamatkan oleh adik kakek. Kebetulan saat itu Ia pergi ke ladang. Beliau mendapati tubuhku tersangkut di atas pohon. Kemudian dengan sangat sigap Ia segera memanjat lalu menggendong turun. Tentu bukan suatu pekerjaan yang mudah. Dengan kondisi tubuh yang masih lemas bercampur rasa takut, aku dibawa adik kakek pulang ke rumah. Para tetangga dan para orang tua menyambutku dengan tidak henti-hentinya mengucap rasa syukur.

“Mbah Pundhen Donoloyo dan para leluhur masih njangkung (melindungi) kamu Ko.. Woko...” ucap para tetangga. Peristiwa itu memberi hikmah tersendiri bagiku. Hanya Allah sebaik-baiknya pelindung dan Ia-lah penolong bagi manusia seperti termaktub dalam surat Al-Anfal ayat 41: “Sesungguhnya Allah Pelindungmu. Dia adalah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong”.
 
Setelah kejadian itu, Mbah Wedok (nenek) mengungkapkan rasa syukur dengan nyadran ke punden Donoloyo. Tradisi itu sebagai ungkapan rasa terima kasih kakek kepada para leluhur karena telah menjagaku atas serangan kera tersebut. Seperti itulah kepercayaan dan tradisi yang berlaku di desa kala itu.

Nyadran adalah tradisi masyarakat Jawa kuno dengan memberikan sesaji berupa masakan daging dari hewan ternak beserta jajanan pasar dan kembang tujuh rupa sebagai ungkapan rasa syukur kepada penguasa alam. Mbah Wedok percaya bahwa keengganan malaikat maut menjemputku bukan karena kebetulan belaka. Ia menduga masih ada campur tangan kekuatan gaib yang melindungiku.

Terutama perlindungan dari Eyang Danasari, atau lebih terkenalnya dengan Ki Ageng Donoloyo. Ia adalah pepundhen --arwah tetua-- hutan Donoloyo maupun dari para pendiri cikal bakal Desa Watusomo. Konon leluhur kami adalah sisa-sisa laskar Diponegoro yang kesingsal --tersesat-- sampai ke alas Donoloyo saat mereka melarikan diri dari kejaran pasukan Belanda setelah Pangeran Diponegoro ditangkap di Batavia.

1. Bapak - Simbok



Hidup itu seperti air, terus mengalir melintasi putaran waktu. Namun, hanya Tuhan yang mengerti kemana tujuan jejak perjalanan ini berakhir. Tak terasa tujuh puluh tiga tahun sudah telapak kaki ini menjejak bumi. Terlahir dari pasangan keluarga sederhana di Desa Watusomo, Kecamatan Slogohimo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.

Ketika bapak menikahi simbok, usia bapak sekitar 25 tahun dan usia simbok masih sangat muda sekitar 14 tahun. Namun, waktu itu anak gadis berusia 14-15 tahun sudah harus dinikah-kan karena pertimbangan ekonomi dan kepatutan. Masyarakat desa menilai anak gadis yang tidak segera dinikahkan akan menjadi aib bagi keluarga karena dianggap sebagai prawan kasep.


Sejak umur satu sampai empat tahun, aku hidup bersama kedua orang tuaku di Desa Geneng. Kedua orang tuaku menempati rumah di sebuah tanah pekarangan sebelah selatan kali pojok Desa Geneng, Padarangin. Kedua orang tuaku selain bertani, menggantungkan hidup dari berjualan buah varietas Jambu Semarangan.

Dari rumah sederhana itulah Bapak dan Simbok (ibu) lalu menorehkan sejarah anak manusia bernama Sewoko. Yah, itulah nama pemberian orang tuaku. Aku dilahirkan pada tanggal 6 April 1937. Bukan di sebuah rumah sakit berbintang maupun bantuan peralatan medis canggih seperti kelahiran bayi jaman sekarang. Namun, tangis pertama keluar dari mulut mungilku hanya disaksikan seorang perempuan tua sebagai dukun bersalin, dan bunyi puluhan jangkrik di pelataran gubuk tua milik ayahku.

Ayahku bernama Saridjo Martorejo. Ia adalah anak tertua Mbah Wonorejo, seorang mantan Kepala Desa Watusomo. Desa Watusomo sendiri terletak di ujung Kabupaten Wonogiri. Bapak mempunyai dua adik laki-laki bernama Marto Sayono dan Sajimin. Tak seperti anak-anak pada umumnya, kulalui masa bermainku sendirian tanpa figur ayah yang menemani. Itulah kehendak Tuhan. Ketika berumur tiga tahun ayah meninggalkan ku sendiri kembali ke hadirat ilahi. Hingga di penghujung usia senjaku, terkadang perasaan sedih melintas. Kerap diam-diam aku meneteskan air mata haru, terutama kala beban hidup semakin menghimpit. Aku ingin bercerita kisah nasib ini kepada ayah. Tetapi jangankan berkeluh, mengingat wajah ayah saja aku tak mampu. Untuk sekedar mengingat wajah ayah akhirnya suatu saat kuberanikan diri jua bertanya kepada adik kandung bapak. Ia bernama Marto Sayono.

“Napa dedeg-piadege swargi bapak kula niku nggih kados panjengan ta pak?” tanyaku kepadanya.
“Lha bapakmu ki bagus lho Ru,” ungkap Pak Marto. Paman memang sengaja memanggil namaku dengan sebutan Ru. Sebutan itu sebenarnya singkatan dari kata guru. Sebagaimana profesiku sebagai guru di Sekolah Dasar.

Belum juga kusambut jawaban Pak Marto, namun paman menuturkan lebih jauh tentang bapak. Paman berkata, penampilan bapak tak ubahnya seperti sosok Paklik Sajimin. Lik Jimin, demikian aku memanggil, adalah salah satu adik bapak.

“Dedege-piyadege kaya pakmu cilik Jimin kae. Gagah tur sugih ngelmu. Klebu wong dhugdhenge sak Watusama. Dasar anake kepala desa...” kenang paman terhadap alamarhum bapak.

Bapak memang dilahirkan dari keluarga seorang birokrat di Desa Watusama. Dahulu, kakek pernah menjabat kepala desa. Namun, aku tak begitu mafhum berapa lama kakek pernah menduduki jabatan elit di desa itu. Sejujurnya hati kecil ingin menelisik lebih jauh figur ayah kepada Pak Marto, entah mengapa asa itu terhenti. Mungkin kala kutatap paman yang mulai berkaca-kaca. Aku tak tega melihat kerinduan Pak Marto kepada bapak.

Bertahun-tahun penjelasan Pak Marto menancap di otak. Aku memang terobsesi untuk memajang potret ayah. Akan kubingkai dan kupajang di ruang tamu rumah, begitu pikirku. Namun, kembali lagi akal sehat menolak berkompromi. Mana mungkin mengambil foto dari orang yang telah tiada? Walhasil, kuputar otak ini lebih keras untuk mencari solusi. Hingga pada suatu hari, aku berpikir untuk menggunakan sosok adik bapak yaitu Lik Jimin. 

Akhirnya, Tuhan merestui pintaku. Suatu hari Lik Jimin berkunjung ke rumah sepulang dari pasar Slogohimo. Aku menempati rumah di Ngerjopuro Slogohimo, Kecamatan Slogohimo, Kabupaten Wonogiri. Tepatnya di utara kantor Kecamatan Slogohimo. Tanpa basa-basi, Lik Jimin aku seret menuju kamar tidur dan kupermak habis dengan busana Jawa lengkap menggunakan beskap dan blangkon. Sekali lagi Dewi Fortuna sedang melemparkan senyum manis kepadaku, karena kebetulan anak laki-laki ku bernama Undung sedang membawa kamera. Tak butuh waktu lama, prosesi pengambilan gambar Lik Jimin selesai sudah.

Melihat hasil yang cukup memuaskan, Undung langsung kuminta mencetak foto Lik Jimin dengan ukuran 10 R. Cukup besar memang. Namun foto itu cukup sudah memuaskan hati. Hingga sekarang, gambar foto Lik Jimin selalu berhasil meng-obati kerinduanku terhadap almarhum bapak walau hanya sebatas rekayasa.

Seiring perjalanan waktu, kunjungan Lik Jimin itu ternyata kunjungan terakhir ke rumahku. Selang beberapa waktu dia sakit keras dan akhirnya berpulang. Nampaknya dia berkenan ‘nyambangi’ keluargaku.

Berbeda dengan bapak, paras ayu simbok (ibu) kerap melintas di pelupuk mata. Simbok bernama Jainem. Dahulu, Simbok dikenal penduduk desa sebagai seorang perempuan yang elok. Simbok memiliki kulit putih bersih layaknya pualam. Satu hal yang masih kukenang hingga sekarang adalah busana kebaya dan kain jarik yang membalut tubuh simbok manakala berpergian. Simbok juga tak pernah lupa mengenakan selendang kesayangan dan payung motha yang waktu itu sedang ngetren. Sebagian besar masyarakat modern pasti sudah tak mengenal lagi payung motha. Payung ini terbuat dari anyaman bambu dan dihiasi dengan kain dibagian atas sebagai pelindung matahari.

Meskipun simbok dibesarkan di pelosok desa, namun Ia bisa dibilang keturunan dari keluarga yang cukup berada di Desa Bulutimun Tunggur, Kecamatan Slogohimo, Kabupaten Wonogiri. Pasalnya, pada tahun 1930-an rumah kakek sudah menggunakan tembok bata. Ini sangat bertolak belakang dengan bentuk bangunan rumah masyarakat kala itu. Kebanyakan bangunan fisik rumah di pedesaan pada medio itu hanya terbuat dari kayu dan bambu, atau kerap disebut rumah gedek.

Menurut cerita dari para tetua di desa, simbok memang berasal dari keluarga pedagang. Lantaran kehidupan mewah dan “mapan” membuat simbok menjadi pribadi yang manja. Waktu remaja simbok hidup dalam suasana serba ada, makan enak, pakaian bagus dan segudang fasilitas hidup dari kakek. Kebiasaan pola hidup itu, membuat simbok kurang bisa menerima keadaan ekonomi keluarga yang sedang susah. 

Masih membekas dalam ingatan, takala bapak meninggal dan tidak ada lagi penopang ekonomi keluarga kami. Saat kematian bapak itulah simbok memutuskan hengkang dari rumah, merantau. Kepergian Simbok ke kota memang lantaran dipicu faktor ekonomi. Terlebih ketika kebun dan sawah mengalami panen terburuk. Kebun dan sawah tempat kami menggantungkan hidup hancur lebur diserbu hewan kera dan babi hutan. Ya... Tuhan, saat itu adalah ujian terberat bagi kami sekeluarga.

Hanya kakek yang menggantikan peran ibu dan bapak kandungku lantaran simbok merantau ke kota. Kakek sangat setia menjaga dan merawatku sejak masih kecil.

Selang beberapa waktu, nasib simbok terdengar kembali. Ia berhasil menikah untuk kedua kalinya dengan seorang perwira polisi yang bertugas di Salatiga. Nama laki-laki itu adalah Bakin. Namun, pernikahan itu tak berlangsung lama. Setelah perpisahan dengan suami kedua simbok, Ia memutuskan pergi ke Kota Solo untuk mencari adiknya yang bernama Sadiyem. 

Menurut kakek, mbok cilik Sadiyem dulu tinggal di sekitar wilayah Gemblegan, Kota Solo. Dari sanalah Simbok kembali mulai membina biduk rumah tangga baru. Simbok akhirnya membina rumah tangga dengan seorang pria bernama Asma, seorang pekerja pembuat gribig, anyaman bambu.

Bisikan Kalbu


Dalam kesempatan yang indah ini, mas Ikun sebagai pengatur pembuatan biografi Ibu dan Bapak meminta kami agar membuat tulisan kami tentang beliau; Hj. Sulamsini, BA dan H. Soeparno Hm, BA.

Aku; Anin Saptantri, putra ragil beliau.
Beliau ngendika bahwa namaku berasal dari hari kelahiranku yang Senin, jadi anak yang lahirnya senin, disingkat Anin. Dalam Ats-Tsakasur ‘anin berarti nilai lebih. Sedangkan Sapta artinya tujuh. Aku anak ke tujuh. Tri artinya tiga, karena aku putri ketiga dari tujuh putra beliau. Maka jadilah namaku Anin Saptantri.

Sebagai guyonan aku dikatakan sebagai anak yang lahir diluar perkiraan, karena aku lahir setelah woro-woro dari pemerintah tentang KB, dimana ibu juga sudah mengikutinya, tetapi karena ketiga kakakku laki-laki (mas Amrih, mas Ikun dan mas Iluk) maka kehadiranku sangat diharapkan.

Masa kecilku sudah jauh lebih baik dari mbak-mbak dan mas-mas yang lain. Karena ragil, aku dimanja itu pasti. Selain itu memang karena keadaan keluarga semakin hari dan semakin mapan, jamannya juga menjadi semakin baik. Bila saat mbak Yayuk dan mbak Lilis kecil harus adang nasi jagung dan thiwul tiap hari, mulai dari ngecroh jagung dan ketela hingga menanaknya jadi nasi untuk keluarga dan masih menyediakan juga untuk puluhan pekerja pembuat rumah, maka aku sudah tidak mengalaminya. Suatu masa yang indah untuk dikenang, dijadikan wasiat untuk diendapkan sebagai pelajaran berharga yang menjadikan kami tidak semena-mena kepada orang lain.

Saat paling awal aku mengingat sesuatu, mungkin ketika aku dijahitkan baju oleh mbah Lam. Aku kelas 1 SD. Waktu itu aku dipanggil untuk mengepas baju. Aku bahagia sekali karena akan segera punya baju baru. Mempunyai baju baru bagi anak kecil adalah sesuatu yang menyenangkan sekali. Mesin jahitnya masih ada sampai sekarang. Bila aku melihatnya, maka kenangan itu terbayang kembali, sehingga rasa bahagianya juga terulang lagi.

Kalau dengan Bapak, waktu aku sakit saat kelas 3 atau 4 SD, aku sedang berbaring karena masih lemah, bapak kondur dari mengajar, melihat dan menyapaku, menanyakan apa masih sakit lalu disuruh istirahat. Bapak kemudian maringi uang 100 rupiah, koin tebal bergambar kapal, sungguh bahagianya hatiku, anak kecil yang tidak tiap hari mendapat uang saku, dimana uang saku waktu itu 5 rupiah sudah bisa untuk membeli macam-macam makanan..., wah ini diparingi 100 rupiah!! Begitulah Bapak dan Ibu selalu memberikan kebahagiaan dan dukungan sejak kami kecil.

Aku suka mengikuti banyak kegiatan Bapak di sekolah-sekolahnya. Seperti di SDN Pandan 1 dan SDN Slogohimo 2. Kalau dengan ibu ketika beliau menjadi Kepala di SDN Waru 2.
Diantaranya ketika itu menjelang hari Pramuka. SDN Slogohimo 3 sudah selesai latihan pramuka, tetapi SDN Pandan 1 masih ada latihan. Bapak pas tindak ke sana aku diperbolehkan ikut. Dengan suka cita aku ndherek ke Pandan 1. Sampai di sana aku ikut-ikutan latihan dan saling berbagi pengalaman dengan anak Pandan 1 yang sebaya denganku. Kami saling belajar tentang pramuka. Ada beberapa pengalaman yang tak terlupa-kan. Kesan yang mendalam tertanam dalam hati tentang pramu-ka dan pecinta alam hingga kini.

Masih tentang Pandan 1, waktu itu Bapak kondur dari sana ngasta seconthong penuh bakwan jagung hasil praktek mema-sak mereka.. sungguh nikmat kurasakan bakwan jagung itu, rasa kasih atas hasil karya rekan-rekanku juga menambah gurihnya sang bakwan. Sampai-sampai saat ini bakwan jagung adalah makanan favoritku.

Bapak yang sering mengunjungi sekolah walau hari minggu justru memberiku kesempatan untuk bisa ikut ke sekolah. Kadang memperbaiki pagar sekolah, menata taman, menghias dinding kelas dengan gambar pahlawan, menata buku perpus-takaan, dan lain-lain. Sehingga tanpa sengaja aku telah ikut belajar. Banyak buku yang mungkin di sekolahanku tidak ada, malah tersedia di sana.

Dengan ibu yang kuikuti waktu di SDN Waru 2. Ketika itu ada perpisahan kelas 6. Aku menari Black Dik Dot dengan Teguh. Tarian dengan kostum dan iringan jenaka dipadu de-ngan penutup kepala yang diberi balon. Make up-nya mirip Bagong dalam Punakawan. Wah lucu sekali..


Karena beliau adalah guru, maka kegiatan belajar sudah seperti biasa dilakukan sehari-hari. Membaca adalah kegiatan yang kusenangi. Membaca apa saja. Karena kami bersaudara banyak, maka belajar membaca dan menulis tidak harus dari Bapak dan Ibu langsung. Mungkin kalau mbak Yayuk dan mas Undung dulu belajar langsung dari beliau. Secara bergantian kakak mengajari adiknya, kemudian mengajari adiknya lagi dan seterusnya.. alangkah indahnya. Walau tentu saja beliau tetap memantau. Yang aku ingat pas aku bisa membaca yang mengajari mas Ikun. Waktu itu aku disuruh membaca judul berita dalam koran yang besar-besar dulu, baru kemudian yang sedang lalu yang kecil-kecil.

Aku senang karena aku medhok dalam belajar bahasa Jawa. Bapak juga yang mencetaknya, hingga sekarang masih melekat erat pelajaran-pelajaran bahasa Jawa yang dulu diajarkannya. Beliau mengajarkan sesuatu beserta jiwanya, tidak hanya kulit luarnya saja. Sangat jarang guru di sekolah yang bisa begitu.

Ibu Mengajariku Semua
Segala detail tentang kehidupan ini beliau ajarkan dengan sabar, saking detailnya kadang aku yang belum mudheng jadi tidak sabar. Tapi karena itu berulang-ulang, malah jadi ciriku saat ini. Aku juga jadi orang yang suka detail.

Ibu mengajarkan pengabdian tanpa batas. Untuk masya-rakat, untuk anak didik, untuk suami, untuk orang tua, untuk orang miskin, untuk yatim-piatu, untuk tuna wisma, untuk se-mua orang dan terutama untuk kami, anak-anaknya. Semangat beliau tak pernah padam.

Untuk apa saja. Untuk belajar, beraktivitas, bekerja, dan berdoa. Bapak pernah ngendika kalau doa, doa ibu itu yang manjur.... Karena kalau berdoa ibu benar-benar pasrah. Allah Maha Satu yang beliau sembah, beliau jadikan sandaran pengab-dian dan doa. Aku kadang berpikir. Bisakah aku nanti seperti ibu? Yang menyandarkan segenap hidupnya hanya kepada Allah subhana wa ta’ala, azza wa jalla? Ibu yang doa-doanya selalu terkabul....

Ibu mengajariku hemat. Dulu aku muda kadang berontak, mengapa beliau selalu berhemat? Tak bisakah longgar sedikit? Sekarang aku baru sadar, betapa masa itu benar-benar sulit, perlu perjuangan keras tak terhingga, kesadaran, pengendalian diri dan kesabaran tak terbatas. Agar semua bisa berjalan, agar semua teratasi, agar tercapai tujuan.... oh, alangkah mulia.
Ibu mengajariku detail risalah nabi besar Muhammad saw, beserta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.

Ketika aku SMP tidak banyak yang lucu-lucu. Mungkin karena sudah dianggap besar, jadi masa-masa belajar materi dasar kehidupan sudah bisa dibaca sendiri atau diperoleh dari pelajaran dan pengamatan.

Masih kuingat ketika ibu selalu berjalan melewati jalan depan SMPN 1 Slogohimo untuk menuju SDN Waru 2. Waktu itu, apa ya alasannya kok Bapak tidak mengantar ke Waru 2 dulu? Ya kadang diantar kadang tidak. Sering kulihat waktu aku upacara bendera, ibu tindak mengenakan sepatu kets coklat muda melintasi depan SMPN untuk ke Gathon.. cukup jauh juga, kan? Belum lagi kalau hujan. Walau belum seberapa bila dibandingkan ketika beliau berdua menempuh pendidikan di Wonogiri, juga sering dilakukan dengan berjalan kaki. Benar-banar pejuang sejati. Demi siswa-siswi yang menunggunya, demi para guru yang menunggunya, demi kami anak-anaknya, demi kehormatannya sebagai insan yang berbekal pengetahuan yang harus ditularkannya..
 
Ibu... Berkaca mataku..
Bapak... Tak kan bisa aku melukiskan..
Betapa agung segala yang telah beliau lakukan untuk kami,
untuk sanak saudaranya,
untuk masyarakat....


Hebatnya nilai pengorbanan dan pengabdian yang selalu beliau ajarkan membentuk sanubari kami menjadi jiwa yang kaya bila mampu memberikan yang terbaik untuk sesama.

Hal yang menumbuhkan semangat bila hati gundah ada-lah ketika kita mampu memberi sesuatu pada orang lain, itulah yang beliau selalu ajarkan. Tidak selalu uang. Bahkan bisa dika-takan tidak pernah uang. Apalagi sekarang. Orang jarang yang perlu uang. Bila mau jujur, kalau segala sesuatu telah terpenuhi, siapa yang butuh uang? Laksana minum air lautan, semakin banyak semakin haus!!

Mungkin hanya sepotong ketela rebus, mungkin hanya secangkir teh cap dandang, mungkin hanya selirang pisang atau sebutir pokat. Sebuah mulwa, sebutur kepel atau kambil.., tapi sungguh sangat berarti. Karena dasarnya adalah hati. Itulah yang selalu diajarkan ibuku. Hati kita akan semakin lapang justru dikala kita memberikan hati kita kepada orang lain.
Dulu aku tidak paham, sekarang aku menikmati pengala-man ini dan bersyukur ibu dan bapak mengajarkannya padaku.

Menjelang memasuki SMA, ibu memintaku masuk SMEA atau sekolah bidan, waktu itu SPK. Tapi dasar ABG, belum bisa berpikir realistis, maunya ya SMA dan nantinya kuliah. Setelah lulus SMA ternyata benar!!! Lulusan SMEA dan SPK waktu itu bisa langsung mendapat pekerjaan atau kesempatan melan-jutkan kuliah sambil bekerja. Tapi nasi sudah terlanjur lembek.. jadi harus bertanggung jawab.

Bapak lain lagi, beliau memastikan aku bisa lolos SMAN 1 Wonogiri, padahal teman-temanku masuk SMAN 2 saja takut.. waktu itu SMAN 2 masih baru. Tetapi ternyata aku lolos!! Beliau juga mengantarkanku mencari tempat kos.

Setelah lulus SMA lagi-lagi ibu mengusulkan, “Mbok ya ambil sekolah guru saja...” Tetapi aku menolak. Aku ingin jadi pegawai bank! Aku memang mengambil kuliah di manajemen, tapi pada kenyataannya pekerjaan pertamaku adalah menjadi pengajar komputer di SMK.
Dari awal aku telah menolak jiwa pengajar yang telah melekat erat dalam kalbuku, tapi aku benar-benar tak kuasa. Diantara sekian pekerjaan yang pernah aku lakoni, hanya dari mengajar aku mendapatkan kelegaan! Karena inti pengabdian dan pengorbanan agar kita dapat memberikan hati kita kepada orang lain ada di sana.

Pengajar makin hari bisa makin pintar. Pengajar mendu-duki rating tinggi sebagai orang yang tidak cepat menjadi lupa, tidak mudah pikun dan tidak cepat meninggal karena selalu membaca dan belajar....

Ya Allah, Kau telah berkenan memberi kami orangtua yang tangguh, orangtua yang tiada duanya. Kasihilah Bapak dan Ibuku, ya Allah. Berikanlah nikmat iman dan taqwa, sehat dan semangat, gembira dan bahagia untuk keduanya, wujudkanlah rasa syukur dan terima kasih kami sebagai pahala yang melim-pah tak terbatas kepada Ibu dan Bapak kami....

Kesalahan dan kenakalan kami sejak kecil hingga sekarang pada beliau berdua tentu sangat banyak, maafkanlah kami duhai bunda, ayahanda; kami senantiasa  menyayangi Bapak dan Ibu. Tak ada kecintaan kami pada orang lain yang bisa menyamai kecintaan kami pada beliau berdua.

Wilujeng Ambal warsa Palakrama Kencana; Robbi firli wali walidayya warhamhuma kamma robbayani soghiro. Amin.

Jamus, Pebruari 2010
Sembah sungkem; Anin, Heri, Bogi.

Pengalaman Masa kecilku

Pengalaman atau cerita-cerita tak terlupakan pada waktu masa-masa kecil ku akan senantiasa terpatri dalam sanubari, hal itu karena masa-masa itu merupakan kenangan yang tak mungkin aku gapai lagi, tak mungkin terulang lagi. Ada beberapa cerita konyol dan lucu yang patut aku tampilkan.

Membaca Buku
Kebiasaan membaca buku sekarang sudah berganti dengan kebiasaan menonton TV, terutama untuk anak-anak hal itu tentunya sayang sekali..... dan rugi. Aku bangga dan bersyukur sekali punya orang tua sebaik Bapak Soeparno Hadimartono dan Ibu Sulamsini yang begitu sukses menanamkan kebiasaan membaca buku sejak kecil, walau dengan fasilitas negara, buku paket perpustakaan boleh kami baca dulu sebelum di drop ke SD-nya bapak. Ternyata kebiasaan itu dijadikan ”senjata” supaya kami pintar.

Suatu hari ibu ingin agar aku tidur di rumahnya, karena sejak kecil aku memang diasuh simbok, tepatnya simbah Rakinah Martoturangga. Karena keinginan itu, maka ibu membuat syarat; boleh membaca buku-buku koleksi ibu namun tidak boleh dibawa pulang. Dasar anak kecil; daripada tidak bisa tidur aku bela-belain buku itu aku baca sampai selesai dulu, ditemani simbok yang terkantuk-kantuk, dan setelah selesai barulah pamit pulang. Maafkan aku ibu, tapi kegigihan itu tak pernah aku lupa, aku masih ingat sampai sekarang sebuah lagu penyemangat dalam membaca buku dari ibuku berjudul Membaca Buku;

Hai.......hai.......hai
Mari kemari ikuti aku
Membaca buku, setiap hari
Semua ilmu, ada di buku
Rajin selalu, membaca buku


Sampai kapanpun aku tak mungkin lupa syair lagu itu. Rama anakku juga bisa lagu itu, tapi tak suka membaca.... ha.... ha....

Do’aku Untukmu (di koper)
Saat aku SD, sejak kelas I, belajar rutin sudah menjadi kebiasaan, karena aku ikut simbok jadi belajarnya cuma di grobok --wadah padi-- yang bersaing dengan penghuni setia ”den baguse tikus”. Bapak tahu kesulitanku dan penuh perhatian memberiku hadiah sebuah koper besi dengan asesories 8 pentolan di atasnya.

Itulah koper terindah dalam hidupku, meski cukup tinggi namun bisa untuk meja belajar sekaligus lemari buku, aman di rumah simbok yang sering trocoh bila hujan. Walau 8 pentol tadi mengganggu proses menulisku, aku tak peduli, yang membuatku semangat adalah tulisan tangan bapak di koper itu: ”Do’aku Untukmu” penuh makna kasih. Koper itu begitu indah dengan cat warna hijau muda dan tulisan warna kuning cerah.

Tulisan “Do’aku Untukmu” di koper tua itu menjadi sumber inspirasi dan penyemangat bagiku dalam belajar sekaligus membawa berkah, walau dengan biaya pas-pasan aku bisa menyelesaikan sarjana ku di IKIP Semarang.

Gaun Berinisial L
Untuk menanamkan rasa bangga dan percaya diri pada anak ternyata ibuku Hj. Sulamsini adalah ahlinya, upaya itu tak perlu mahal. Ternyata buktinya aku begitu bangga dan percaya diri saat ibu menjahitkan baju hijau muda untukku, dengan model yang sangat sederhana dari kain seadanya pula tapi aku merasa punya baju paling bagus sedunia, karena ibu membubuhkan huruf L yang merupakan inisial namaku.

Huruf itu berbentuk huruf L latin yang sangat khas hasil tulisan tangan Bapak H. Soeparno Hm yang menurutku saat itu baguuuus banget, tak ada yang menandingi karena ibu menyulam huruf tersebut di bagian dada kiri bajuku dengan benang warna kuning-oranye. Duh rasanya gaunku istimewa sekali, tiap kali ku pakai rasanya aku menjadi seorang putri kecil..... tak ada yang punya selain aku, tak bisa beli di manapun selain di tempat ibuku, ”Bunda aku bangga padamu.....”

Susu ”Kapur”
Saat masa kecil ku tahun 70-an yang namanya susu bubuk jatah dari pemerintah melalui Puskesmas untuk peningkatan gizi masyarakat bagaikan makanan ”dewa” yang aku anggap makanan paling enak di dunia. Jatah 1 plastik di bagi 7 anak untuk 1 minggu. Nah, bingung kan ibu membaginya, satu-satunya cara supaya adil dan merata gampang caranya; dibuka, dijilat dan dicelupin..... nah asyik kan?

Saking asyiknya, suatu hari susu habis, tapi kakak usil:  plastik bekas wadah susu bubuk diisi bubuk kapur (kawur). Dari warna dan bentuknya jelas sama persis dengan susu bubuk itu. Karena tidak tahu; akupun langsung ambil, lalau ditaruh di lepek langsung dijilat.... brrr.... rasanya aneh; tentu saja pahit dan mak nyoss di lidah. Sejak saat itu aku menjadi trauma dan ngga’ doyan susu bubuk sampai sekarang. Untung ngga’ kena kasus gizi buruk. Cuma bisa tinggi semampai; semeter ngga’ sampai.

Roti ”Saput Bedak”
Tujuh anak dengan kondisi ekonomi pas-pasan ternyata berdampak nggragas bagi anak-anak Pak Soeparno Hm. Betapa tidak? Anak-anak yang wayah semego harus nrimo dengan bersi-kap ”ngalah karo adik”. Suatu pagi sehabis bangun tidur karena lapar maka aku bergegas cari gogrokan di sekitar bantal atau kasur adikku Kun. Waktu kecil, Kun selalu minta makanan untuk sangu tidur, kalau tidak pasti dia akan nangis dan susah tidur. Siapa tahu ada wajik, jadah, atau jenang-e mbah Muji yang masih nempel; sisa sebelum tidur.

Karena kondisi lapar dan remang-remang, maka jadi tidak jelas, begitu di kasur terlihat benda bulat dan saat kupegang terasa empuk, terlihat kekuning-kuningan, kukira roti Marie. Tapi kok tumben masih utuh? Tanpa tunggu waktu; langsung saja aku embat dan diemplok. Sampai dimulut kok rasanya aneh; nggak gurih dan agak alot..... Ternyata setelah aku perhatikan dengan seksama benda itu adalah ”saput bedak” punya ibu..... Dasar luwak mangan tales; awak lagi apes.....! Perut lapar dapatnya roti saput bedak!

Sembah sungkem: Lilis, Pranoto, Ines, Rama

Birrul wallida'in



Ribuan kilo, jarak yg kau tempuh,
lewati rintangan demi aku; anakmu,
Ibuku sayang, masih terus berjalan
walau tapak kaki penuh darah penuh nanah,

(Ibu, Iwan Fals)

Tiga puluh sembilan (39) tahun sudah aku lahir, berada di dunia ini dan hidup selayak amanah Allah yang mene-tapkanku sebagai insan manusia. Tentunya aku hadir di dunia ini bukan ujug-ujug ada dengan sendirinya seperti Adam yg cukup dengan kun fayaakun-Nya, atau seperti Isa Al masih yang dengan tiba tiba hadir di rahim perempuan suci semacam Maryam, juga aku bukan ada sendirinya dari tempat asal muasal seperti pucuk pring atau lemah bengkah, atau tempat wingit lainnya...........

Adalah ‘Tuhanku nyata’ yang menghantarkanku hadir di sini, tempat fana ini, tempat yang selalu menyuguhkan kamuflase-kamuflase duniawi, aku harus memilah dan memilih, sehingga aku menemukan kebahagiaan-kebahagiaan yang berisi. Meski fana,.. usang aku mencoba memaknai dunia ini dengan indah,.. l' vie l' belle..!! Hidup ini indah....

Siapakah Tuhan nyataku yang telah menghantarkanku membimbingku sampai dengan waktuku kini?? Siapakah Tuhan nyataku; wakil Rabb ku yang azza wajalla, yang layaknya aku sembah aku bekteni di muka bumi ini???

Tanpa kesulitan dan rasa samar, seperti lakon wayang purwa semisal Antasena Takon Bapa.... yang masih mencari-cari jati diri dan asal muasalnya hanya untuk sekedar tahu dan menanyakan siapa orang tua yang telah melahirkannya…. yang kemudian pengin dibekteni..., dikembalikan fitrah manusia untuk tidak lupa terhadap bapa biyung yang telah mengukir jiwa raganya. Ya beliaulah; Ibu Sulamsini…. ibuku, dan Bapak Soeparno Hadimartono.... Bapakku.

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Salam sung-kem ugi bakti mugiya tansah konjuk dumateng Ibu kalawan Bapa.... Saking putra kang tuhu tresna….
Kadya tan bisa kuwawa...., gunem sa samodra hangaduta manah lir karep mahargya bakti, karep….., sawengku niat ugi pepinginan memetha krenteging sanubari asok pangormatan kagem ibu bapa....

Seakan sejuta kata tiada mampu menggambarkan rasa hor-mat, rasa ingin berbakti pada beliau…. hanya serangkai kata yang sedikit mengekspresikan hati dan kesan yang tersimpan dalam, mempasak dibawah sadar... dan membentuk suatu character yang mengalir didarahku.....
Ibuku,.. Ibu Sulamsini, adalah sosok ibu yg bersahaja, kuat memegang teguh keyakinan keyakinan hidup.... pakem-pakem hidup yg didasari atas ketundukannya kepada Pangeran, Gusti kang murbeng dumadi.... Kapasrahan dan kebersandaran hidup pada Gusti Allah, seakan memberikan kekuatan, power untuk menjalani hidup dalam kesederhanaan.... dan kesedarhanaan hidup….

Dalam ajaran modern.... mungkin akan memaknai prinsip kesahaajaan hidup Ibuku sebagai paham SIMPLICITY..!!.. kesa-hajaan. Simplicity is Power..!! Kesederhanaan adalah suatu keku-atan.... Yang selalu merumuskan hidup ini menjadi urusan urus-an yang simple, tidak berbelit dan rumit...!! dan urip samadya.... urip prasaja..!!!... Lelaku salampahing urip...!!... bahwa hidup ini adalah suatu keprihatinan yg harus di nikmati, dengan ihlas tan-pa ambisi keduniaan yg berlebihan.... ubuddunya..!!!..

Ibuku hampir tidak pernah berpikir tentang; ....'gebyaring' urip,.. atau urip mubra mubru.... sekalipun itu untuk sedikit me-manjakan diri, ....refreshing dalam hidup yang telah dijalani secara melelahkan, ....membesarkan kami dengan segala per-masalahan hidupnya...

Dari sikap hidup yg wani ngrekasa,.. ini sebenarnya men-jadikan suatu “berkah”...pada ibuku yang alhamdulillah selalu di karuniai seger kwarasan,.....
Sikap-sikap sederhana,.. seperti selalu berjalan kaki,.. ke tempat kerja yang dulu mungkin lebih dari 7 km pulang pergi,.. pola makan yg sederhana,..secara tidak sengaja juga,... terhindar dari zat-zat lemak, cholesterol berlebihan... yang menjadikan kesehatan selalu terjaga....

Sikap ini kadang secara alamiah merasuk dalam darahku,.. aku yang selalu membiasakan untuk tidak manja,.. membi-asakan..., memaksakan jalan kaki,.. ke tempat-tempat keseha-rian,.... sebenarya sikap-sikap begini bukanlah sikap tradisional... atau ortodoks,... tetapi adalah sikap yang sungguh modern,.. seperti orang-orang warga Jepang yang sangat modern pun,.. membutuhkan mekanisme jalan kaki untuk kesehatannya....

Ibuku juga seorang pendidik yang bertanggung jawab dan penaruh perhatian kepada pendidikan anak anaknya, meski dengan kesederhanaan tujuan.
“Panjalukku,.. anak anakku kabeh isa a, dadi sarjana..!!” selalu begitu beliau nggegadang kami. Untuk tujuan tersebut, seluruh perhatian dan perlakuan untuk menjaga agar anak-anaknya tetap focus terhadap tugas belajarnya,... Hal sangat berkesan tentu sistem reward and punishment berlaku pada kami…. Meski saya pribadi,.. Lukito,.... lebih sering mendapat reward untuk urusan sekolah..... Juara kelas di SD, SMP,.. wah selalu dapat hadiah,.. ”Mangan enak...!! ngiras sate nggone Budhe Klepat..!!” he…. he….  sungguh berkesan..!!!....

Sampai dengan SMA ibuku selalu memperhatikan urusan sekolahku, karena waktu itu, saya sekolah ke Solo, ngekost, setiap senin pagi,.. saya selalu dibangunkan jam 3 dini hari,.. untuk bersiap-siap berangkat menuju Solo. Ibuku selalu mengantar ke terminal Bus, melewati jalan yang masih diselimuti dinginnya malam,.. dan sinar bulan yang terang benderang.... sebenderang harapannya kepadaku untuk berhasil dalam menuntut ilmu.....

Dengan sangu pas-pasan 4 atau 5 ribu untuk seminggu, hidup di kost,... karena lauk sudah tidak beli,.. sangu tempe kering yg dengan bumbu yang lengket,.. kadang bertahan sampai 4 atau lima hari....(makanya sekarang saya serasa gila kalo di kasih lauk tempe kering.... kabong …. he… he…. karena teringat masa masa dhek djaman berdjoang...!!!!)

Proteksi ibuku juga berlangsung hingga aku menginjak Perguruan Tinggi,.. aku diajari untuk urip prasaja,.. ngenger-ngenger di tempat Budhe Gie Semarang...!! Dari situlah aku belajar hidup ini harus dilalui dengan tegar,… gak boleh malu-malu dan cengeng. Untuk latian hidup hemat,.. aku selalu dibekali beras, krambil atau sayur-sayuran untuk dibawa ke Semarang sebagai bekal hidup di rantau, dengan sangu pas-pasan 25 ribu sebulan...

Rewang-rewang di rumah Budhe Semarang, kadang aku mencari tambahan uang saku dengan cara jadi buruh “ngaji yasinan” di rumah-rumah pejabat semarang, ngirim-ngirim gam-bar ilustrasi majalah kampus atau ngobyek dari main bola turnamen antar kampung....
Proteksi yang saya maksud adalah juga tentang “hama-hama” pengganggu yang mengancam kelancaran studi anak-anaknya, misal urusan pacaran atau kenal dengan cewek atau lawan jenis adalah... suatu pantangan..!!!. Ada surat-surat yang harusnya ke aku di sortir dan dihanguskan biar tidak sampe ke aku... he.... he.... Ketahuannya belakangan; pernah ada wanita protes, kenapa maksud hatinya dulu yang dikirim lewat surat tidak mendapat tanggapan. Lho? Koq aku gak pernah tahu!!
Hal itu terasa juga oleh Farid,…. istriku tercinta yang baru merasa 'direstui' oleh beliau setelah aku menyelesaiakn studiku...!! Tepatnya saat menghadiri wisuda di Kampus UNDIP Semarang.

Ibuku juga tentunya berlaku sebagai “malaikat penyelamat” hidupku dalam arti sebenarnya; tentunya mulai dari tetes-tetes air susuan, membesarkanku, kemudian merawat saat saat aku sakit, mriang, obat yg paling mujarab adalah,.. minta dikeroki biyung...!!!
Aku juga pernah mengalami suatu keadaan traumatis yg membahayakan jiwaku ketika masa kecil,.. aku masih suka bermain dengan apa saja di sekitarku... waktu itu aku main-main tutup spidol,... ditiup-tiup,.. disedot, ditempelin di lidah; bisa nempel di lidah. Tapi ga tau ada bahaya mengancam ,… mainan dan tawa canda masa kanak kanak....

Saking kencengnya aku menyedot tutup spidol ke mulut, mungkin sambil becandaan juga... ga di sangka,.. tutup spidol, bukannya nempel di lidah,.. tapi malah melesat dan nancep di kerongkongan...!!! Kloloden isi spidolll...!!! Seketika itu juga aku sulit bernapas,.... napasku tersengal dan hampir berhenti…!!

Untung waktu itu ada, ibuku...yang melintas.... Mengetahui anaknya dalam bahaya,.. naluri seorang ibu pasti akan bertindak apapun juga untuk menyelamatkan darah dagingnya, anaknya…. Aku langsung dicangar..., trus isi spidol yang sudah setengah masuk kerongkongan itu dirogoh dengan jari telunjuk, berhasil..... dan selamatlah aku..!!!... he…. he….
Yaah sebagai ekspresi,… ”lega” anaknya lolos dari maut.... pahaku dicethuooot,… sekenceng-kencengnya..., sampai gosong pereng... sakitnya minta ampun dan masih terasa sampai seka-rang, he…. he…. Yah,.. itulah tuhanku di dunia…. Ibuku, ibuku, ibuku.... Kemudian baru,…. Bapakku..!!

Pak Suparno Hadimartono,….
Pak Suparno Hm.... adalah tokoh masyarakat Slogohimo,.. aktivis politik, dan pelopor desa,.. tetua tlatah Slogohimo,.. tokoh Sukarnois tulen,.. yang punya kepedulian terhadap kelangsung-an idealisme nasional,… dan kehidupan berbangsa....
Terlalu panjang mungkin untuk menjabarkan pandangan politiknya,.. yang sangat nasionalis dan sangat mengidam-idamkan keaadaan negara, kelangsungan penyelenggaraan ke-hidupan berbangsa, sesuai dengan yang di maui para founding fathers, pendiri pendiri negara dahulu.
Suatu negara Indonesia yang ber “harga diri” di kancah internasional sekalipun,.. Negara yang berpihak pada rakyat-nya…. untuk bisa hidup makmur... Negara yg masih dalam kesatuan NKRI,.. yang ber Pancasila dan UUD 45,... Nasionalis abist…. begitu kalo pake bahasa na Imas.

Yang jelas sebagai anak, kami bangga punya seorang ayah yang berprinsip kuat selaku lelaki, tidak plin-plan, dan tidak hanya bisa berlaku sebagai yess man atau sendika dhawuh terha-dap perintah birokrasi rezim, dimana kebetulan bapak berlaku sebagai abdi negara...
Bapakku juga bukan tipe orang,.. yang bermental anthek,.. yang suka menjilat penguasa hanya untuk nunut mulya....!! Sebaliknya; bapakku memilih mengikuti suara hati sebagai ka-der Sukarnois tulen,… untuk selalu berpihak pada kebijaksana-an politis yang berdasar pada keadilan dan keberpihakan kepada rakyat jelata...., para marhaenis.

Wah bisa jadi satu buku sendiri,.. kalo kita mengulas pan-dangan politis, serta perjalanan pembentukan pemerintahan wilayah Slogohimo..., biar nanti mas Wi ama mas Ikun, aja yang akan menyunting,.. untuk dijadikan sebuah “Memoar politik Tanah Perdikan Slogohimo..” he… he….
Sebagai bapak,... dibalik kesibukannya yang sangat padat,.. dari pagi sampai larut malam …. bapakku ‘selalu bergerak’ untuk mencari nafkah untuk keluarga,.. dan mengekspresikan impulse,.. atau dorongan politisnya,.. dengan berbagai macam kegiatan dipemerintahan atau kemasyarakatan di Slogohimo...

Kenangan saat aku masih kanak kanak,.. ada situasi malam yang masih terekam jelas diingatan alam bawah sadarku sebagai anak,.... Pada malam hari, aku sering belum merasa “aman”,.. untuk tidur dan membuatku terjaga dan susah tidur,.. apabila sampai larut malam bapak belum pulang dari kegiatannya...

Malam dahulu,...tentunya lebih panjang dari malam anak anak sekarang,... yang sampai jam 10, atau sebelas masih terasa “sore”,.. karena hingar bingar acara tipi sampai larut telah menjajah,.. dan merenggut kesakralan malam..... Dahulu,.. kalo waktu sudah lewat jam delapan malam,... dalam suasana tanpa listrik, hanya temaram lampu senthir menjadi pelita malam hari.... Sehingga malam terasa dalam dan sakral...,.. kemudian tanda tanda semakin larut,.. apabila jingle radio RRI telah siap menyampaikan berita dalam bahasa Jawa; “Pawartos basa jawi kawaoseken dening Widjoyo Sumarto……”...wah.. kalo sudah ada maklumat seperti itu berarti malam dah semakin larut,.... pertanda jam 21,.. yang terasa larut tersebut bapakku belum pulang,.. rasanya,.. suara malam,.. suara serangga dan burung malam terdengar jelas,.. dan sangat menakutkan sekali..., belum lagi kalo ada segawon yang lagi mbaung......, gembong atau leo ki-riknya mbah Onggo yang menyalak melihat dhedhemit.....!!!...

Suasana malam yg “tidak aman”.... unsecure feeling, sebe-lum bapakku pulang,.. kadang sedikit terobati dengan upaya ibuku menenangkan batin anak-anaknya,.. dengan doa-doa kidung penolak balak; “Pitik tulak pitik tukung, tetulake jabang bayi…. Si tukung manungkung arso, ilango sulak sawane….” yang mengalir merdu membius dan memberi therapi pada jiwaku yang masih kanak kanak.... dan merasa lebih tenang.... sungguh magis pupuh tembang atau mantra tolak balak itu seperti matram yang terbenam dijiwaku...

Apalagi kalo sampai Radio memperdengarkan lagu berirama “lautan teduh” sebagai tanda penutup siaran radio,... sementara bapakku belum pulang, malam terasa lamaaa sekali dan susah mataku berkompromi untuk tidur... kancilen!! Baru setelah suara motor Honda 70 memecah malam,.. dan klakson-nya berbunyi sebagai 'perintah” untuk membukakan pintu....... dan bapakku pulang, aku baru bisa tidur, dalam keadaan batin aman…. (Wah,.. itu gambaran perasaanku sebagai anak yang selalu ditunggui bapaknya setiap malam,... bagaimana ya suasana batin anakku,.. yang setiap malam gak pernah “menunggu” bapaknya bisa pulang seperti ketiga anakku yang sering aku tinggal merantau... Imas, Iyas, Icha.....???? Terlalu berat aku membayangkannya............. maafkan bapakmu, nak...)

Beberapa kenangan masa kecil dengan bapakku yang ga mungkin terhapus,... Bapakku tentunya berlaku sebagai “hero” atau “pahlawan”... bagiku,.. bagi anak-anaknya, seperti saat saat aku sakit di suatu malam,..... seingatku aku sakit gigi dan sakiiiit sekali.. atau dulu sakit karena keracunan, alergi,..... seingatku malam itu bapak keraya-raya,.. mencarikan obat,.. obatnya ga baen-baen.... obatnya kelapa muda yang malam-malam harus dipetik sendiri dari pohon kambil gading itupun minta tetangga; Bu Sis Kamidin........, whalah-whalahhh…. Itulah kalo saya bilang bapakku sebagai pahlawan.... Mungkin kalo ada ekspresi yang mewakili atas keheroan ini adalah,.. lagunya Michael Jackson bersama Jakson brothers, berjudul ”I Love U, Daddy..!!” I love you, daddy.. oh daddy..., You re my hero....!!!”...................

Kenangan lain,.. saat malam jalan-jalan kampung Slogohimo masih gelap,.. dan harus dilalui dengan colok,.. atau lentera,.. senter... Aku digendong bapak,.. dalam perjalanan malam yang gelap,.. benar-benar jalan kaki dalam jarak yang cukup jauh, entah dulu itu kemana aku masih terlalu kecil untuk mengingatnya............

Pengalaman pengalaman belajar juga,.. terekam indah di benakku,.. ketika diajak pergi ke “KOTA” dengan vespa biru, ke kota Ponorogo,.. untuk niliki tivi kami yang sedang diservice di toko elektronik “Gatotkaca”.... perjalanan yang indah,.. imagi kecilku terhiasi dengan pepohonan, rumah-rumah, gunung berlari-lari berlawanan arah denganku,... sepanjang jalan aku tidak lelah,.. meskipun aku sebenarnya berdiri didalangan vespa dalam perjalanan yang cukup jauh... dan semangkok soto di alun-alun Ponorogo, rasanya nikmat sekali..... dan tersimpan dalam file memoriku.... he.... he..,,,,.....

Bapakku juga seorang yg “futuristik” bagiku....., yang kreatif dan dapat membaca talenta anaknya untuk masa depan,... yang ucapannya merupakan doa orang tua yang bisa didengar oleh Nya... Ceritanya begini;

Acara pertandingan sepakbola PORS Slogohimo, sekitar tahun 1978 adalah primadona hiburan masyarakat yang sangat digemari semua kalangan,.. Lapangan Slogohimo yang kini jadi terminal angkut itu akan penuh sesak dengan penonton, iring-iringan penonton saat pulang bisa dari Koripan hingga punthuk Waru! mulai dari orang tua sampai anak anak seperti saya juga.. saya dan mas Ikun,.. sering merengek minta duit ke bapak untuk beli karcis nonton bola,....
Tapi bapakku tidak langsung ngasih duit,.. tapi ngasih “solusi”.. untuk saya dan mas Ikun agar bisa tetap masuk dan nonton pertandingan bola,... saat itu yang menjadi bintang lapangan seperti,.. Mas Kamdani, Kaswanto, Kaswadi, Sulur, Yatno Gendut, Mas Slamet Gandul...

Bapakku selalu ngasih solusi dan sugesti seperti ini,.... “Wis ra usah sangu duit nggo mbayar... ngomong o wae nyang sing njaga karcis,.. .kula ajeng nonton mbak,... lha wong kula njing mben sing ajeng ngganteni,.. mas Kamdani,... dadi jago ball” ....ha….ha...ha..
Kesampean..., aku pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi bintang lapangan ketika menjuarai Turnamen Merdeka Cup II… karena ucapan orang tua adalah doa...!!
BIGTHROUGH, adalah “langkah besar” atau “terobosan” atau “suatu langkah berani yang berbeda” yang diambil oleh su-atu perusahaan,.. dalam pengambilan keputusan untuk meme-nangkan persaingan. Langkah ini juga merupakan suatu cara berpikir yang out of box suatu cara berpikir yg “lain dari biasanya”..... Itulah kadang yang aku terapkan dalam memana-gement diriku,.. dan cara berpikirku...!!

Kadang aku tidak perduli terhadap reaksi orang orang se-kitarku,.. yang kadang masih berpikir dengan alur “sa umume....”.....dan uniformitas, seragam... Sehingga sering orang lain,.. atau bahkan bapak-ibuku sendiri,.. (nyuwun sewu..!!)…. mengecap aku ini orangnya,.. ”nyleneh”,.. atau “ora umum”...he..he.. yang membuat aku kaget juga,.. comment na generasi Dita, Bima, Ines atau Aji yang mengatakan dalam status facebooknya, sebuah jejarng sosial yg mewaklii jaman mereka,... bahwa Om Iluk itu orangnya,.. ”lain”…. agak susah di pahami..!!! (beuhhh..?????..he..he )... kenapa stigma itu terwariskan ke gene-rasi yang selanjutnya... dan tak terpecahkan… he.he..

Tentang cara pikir out of box atau “berani berbeda”... yang sedang menjadi faham modern di dunia profesional company,.. dan sangat mendunia,... dari manakah saya pertama belajar tentang cara pikir “berani beda” tersebuuuut..???

Jawabnya adalah.... bukan dari buku-buku modern semacam Seven Habbit-nya Steven Covey, atau buku The Secret na Rhyonda Byrne atau tips-tips dari Bill Gates dalam memenangkan persaingan microsoft-nya…. Tapi dari Bapakku.....!!... Yach, benar bapakku yg mengajari aku,.. dan menanamkan bahwa berpikir “beda” atau nyleneh atau out of box.. itu bolah boleh saja,.. sah-sah saja..!!!

Ceritanya waktu itu aku masih Taman Kanak Kanak,.. TK Pertiwi Slogohimo.... Biasa kadang di TK pun ada PR atau tugas,. Prakarya. Waktu itu aku dapat PR Prakarya,.. pelajaran menem-pel gambar… Perintah dari Bu guru waktu itu; murid-murid di rumah disuruh menempel guntingan gambar kecil-kecil dan ber-macam-macam,.. sehingga satu halaman buku gambar penuh,.. pokoknya SAMPAI PENUH,.. itu kata kuncinya.., aturannya,..!!.. Selayaknya anak kecil yg kesulitan mengerjakan PR tentunya aku bertanya dan minta “bantuan” orang tua...., saya berkon-sultasi dengan Bapak...

Dan walhasil,.. bapak pun “membantu “ menyelesaikan tugas tersebut,..... diguntingkan lah,.. sebuah gambar yg cukup besar,.. dari almanak yg sudah tidak terpakai,.. gambar wanita dewasa,... sehingga dengan satu gambar maka selembar halam-an buku gambar langsung penuh... he..he Bukanlah kata kuncinya.. ”SAMPAI PENUH....??”

Waktu itu akupun sebenarnya langsung berontak,… kare-na tidak sesuai “perintah” bu guru... tapi bapakku meyakinkan,.. bahwa tempelan gambar besar wanita cantik itu,.. lebih bagus dan besok bisa dikumpulkan,.. dan dibijekke...!!!.. dimintakan nilai...he..he…

Saya berpikir,. benar juga ya... kenapa kita harus selalu nurut aturan..????... bukanlah kadang “nabrak pakem”... dan berani tampil “beda”.. itu bolah boleh saja.... dan merupakan suatu pilihan...!!.... an other option...!!!!! Dari peristiwa PR menem-pel gambar itulah,.. membentuk cara berpikirku dikemudian hari. Kalo pakai ilmu paedagogik,.. waktu itu saya adalah seumuran anak TK yang masih merupakan “sehelai kertas putih kosong...!!!”......yang akan melekat selamanya,.. apabila di kasih coretan apapun juga bentuknya....

Bapakku juga seorang yg romantis berat... Yaitu seorang yang suka dengan keindahan keindahan cerita hidup,.. atau khususnya cerita tentang asmarandana kehidupan.....
Atau bisa jadi pelaku-pelaku asmarandana dalam kehidup-an mudanya... selaku pemuda yang menikmati kisah cintanya..., dan mungkin banyak cerita indah,.. sebelum ketemu ibuku,.. yang memang sudah menjadi suratan jodohnya... “Talenta” lelaki flamboyan dan romantis ini,..

wajar saja kalo darah romeo ini terwarisi dan tersalurkan ke putra-putranya... seperti Mas Undung, Mas Mul,.. Mas Ikun.....!! Untung.... ke saya tidak... he..he... tidak kecipratan bakat yang satu ini... ha.ha..ha.....
Jadi mohon anak cucu memaklumi, dan mengerti.. kalo Bapak lagi melihat sinetron,.. opera sabun di televisi yang setiap malam menyebarkan cerita kidung cinta,.. bapakku dapat menik-mati,.. menjiwai dengan baik.. he..he....

Yahh,..mungkin inilah sekelumit kesanku…. yang pasti aku sebagai anak merasa belum pernah mencoba membalas budi jasa orang tua... dan ga akan pernah bisa “membayar” pengor-banan dan pahit getir orang tuaku dalam membesarkan dan mendidikku,.. hingga menghantarkanku menuju dewasa... Saya pun dalam kesempatan ini, dengan tulus meminta maaf, karena sayalah.... Lukito, seorang anak yang sering menjengkelkan,.. dan orang tuaku pun memberi 'cap” sama, “Lukito ki, meneng-meneng ning ndhendheng,.. alias ndablegg!”

Yang pasti,.. setiap sholat yang saya dirikan sampai hayat lepas dari raga,.. saya akan selalu menyertakan doa... Allahumagfirlii wallidayya, warhamhumma... kamma rabbayani shagiraa, untuk kedua orang tuaku....... sebagai tanda bakti dan pengakuan “jasa” orang tua yg takkan mungkin terbalas dari anaknya... Mungkin hanya doa yangg terjaga yang bisa saya dharma baktikan kepada orang tuaku....

Nyuwun samudra pangaksama,.. bilih wonten seling suruping pachelathon... Tansah tuhu bekti saking putra,.. Mugya rahayu ingkang sami pinanggih...

Lukito, Farid, Imas, Iyas & Icha

Sepenggal Amanah dari Kakung-Uti


Biografi kakung, H. Soeparno Harimartono berjudul Tembang Alas Donoloyo ini hakekatnya adalah pesan perjuangan yang  ditulis untuk anak dan cucu dan kita semua. Biografi singkat ini menyiratkan keinginan bahwa banyak hal yang tidak ingin dilupakan oleh kakung.

Terutama adalah hal-hal yang menyiratkan cinta, semangat, perjuangan  dan sisi-sisi humanisme dalam sekeping kehidupannya. Ada canda, ada suka dan duka. Ada juga kebijakan moral yang pantas dijadikan sumber spirit dan tauladan untuk generasi berikutnya.  Semoga kita mendapat  hikmah dari buku ini.

Kakung sudah mempertaruhkan segalanya untuk mengatakan sayang dan cintanya kepada anak-anak dan cucunya. Mengekspresikan cinta dengan tidak memanjakan anak-anaknya, namun dengan memberi contoh nyata dalam kesehariannya. Bagi kakung cinta tidak perlu diucapkan. Cinta adalah perbuatan. Kasih sayangnya adalah jejak langkah yang telah dilakukan. Hal yang perlu diteladani dari seorang kakung adalah semangat dan ketekunannya dalam menghadapi segala kesulitan. Setiap jengkal waktunya dihabiskan untuk berkarya dan berkarya. Mana pernah waktunya dibiarkan berlalu tanpa makna. Wajah kakung  yang tidak pernah tersirat mengeluh, atau putus ada. Tangan, kaki dan darahnya  rela diserahkan untuk keluarga dan bangsa. Keterampilan tangannya bagai mesin. Tidak ada pekerjaan yang tidak bisa diselesaikan dengan baik. Kasar maupun halus. Keterampilannya dan daya tahan serta ketekunannya sering membuat kita anak-anaknya malu.

Semangat pantang menyerah dan tanggung jawabnya kepada keluarga menjadi spirit bagi putra dan putrinya dalam mengarungi hidup. Jiwanya yang enthengan suka menolong siapa saja. Baik saudara muapun orang lain. Kegemarannya beramal dan mengajarkan Al Quran adalah kebanggaan yang luar biasa.  Kalau mengajar anak-anak membaca tentu lebih mudah karena otaknya masih fresh. Tapi kakung ini adalah  mengajarkan pemberantasan buta huruf alquran kepada orang-orang yang sepuh. Sudah dewasa, pensiunan bahkan nenek-nenek. Tentu membutuhkan jiwa besar, kesabaran, ketekunan dan metode pendekatan yang khusus. Butuh pendekatan psikologi yang mantab, selain juga perasaan tanpa pamrih, lillahi taala. Kakung melakoninya dengan bersemangat dan iklas. Subhanallah....

Perkawinan saya dengan isteri saya Titik, secara tidak langsung mbah Kakung juga yang menautkan. Ketika itu Kakung berkunjung ke kediaman saya di Bekasi. Sudah tujuh bulan saya menduda ditinggal isteri; Wigarti yang meninggal dunia karena kanker. Kakung tentu kasihan melihat saya hidup sendiri, lalu beliau mengusulkan agar saya menikah lagi, “Kowe tak golekke bojo ya le.”

“Lha mbok enggih... Sinten larene Mbah?,” jawab saya menanggapi dengan sersan ‘serius tapi santai’ karena hormat saya kepada beliau.
“Iki ana anake muridku ngaji asmane Mbak Titik. Ibune asmane Bu Parmin. Iki nyoh nomer telpone hubungana!  Kandhoa yen keng Ibu wis katam Al Quran, Pak gurune ngaji nyuwun hadiah pepes iwak mas... minggu ngarep arep tindak mrene..”
Begitulah pesan Kakung yang sebenarnya sebuah rancangan skenario. Kakung memang setiap lebaran mendapat bingkisan lebaran dari para ‘muridnya’ karena jasanya sebagai guru ngaji. Kalau dicaosi uang mana mau. Suatu saat lebaran pernah dipisungsung pepes ikan mas dari Sukabumi.

“Nggih kula hubungane bocahe,” saya sanggupi.
Sayapun lalu berkomunikasi dan saling menjajagi, sebatas telpon. Beberapa waktu kemudian, karena masalah ini mulai mengarah ke perjodohan saya lalu puasa dan melakukan shalat istikharoh. Suatu malam saya mendapat sebuah mimpi yang jelas sekali. Di dalam mimpi itu Kakung dan Mbah Uti melamar Titik. Ketika kakung menyampaikan maksudnya, Titik diam saja tidak menjawab, malah lari masuk rumah. “Piye ta pak kok ndhuk Titik meneng wae, malah mlayu mlebu. Gelem ora,” mbah putri setengah khawatir bertanya kepada kakung.
“Nek cah wadon dilamar meneng wae ki tegese gelem.” kata mbah kakung yakin. 


Anehnya ketika saya berkunjung ke Sukabumi dan pertama bertemu dengan Titik ternyata pawakan dedeg piadegnya persis seperti yang ada di dalam mimpi. Saya tambah yakin kalau jodoh pilihan kakung  ini memang sudah ditakdirkan Allah menjadi sisteri saya.
Baru pertama berjumpa, belum juga berkenalan lebih lanjut. Saya langsung tembak, “Mau nggak jadi isteri saya?”
“Enak aja, baru juga kenal. Memangnya wayang apa?” jawab Mbak Titi ketus. Tentu dia kaget menerima lamaran Burisrawa. Maklum, sebagai seniman, rambut saya waktu itu gondrong seperti Burisrawa. Mimpi apa semalam, ketemu orang nekat seperti saya.
“Suk mben ngenteni apa, pancen anane kaya ngene. Aku Duda, anakku loro?” jawab saya ndhagel. Waktu itu anak saya Bima dan Dita juga saya ajak.

Jodoh memang tidak kemana-mana. Dua minggu kemudian saya sudah mendapat jawaban. Dua bulan kemudian kami menikah. Gara-gara kakung mengajarkan Al Quran saya mendapat isteri.
“Masak guru ngaji njaluk opah anak wedok? Larang temen opahe!” demikian Mbah Parmini mertua saya  sering berseloroh.

Ketika kami akan menikah ada salah seorang tetangga yang menyeletuk kepada Mbah Uti, ”Napa mboten kapok ta mbah entuk mantu lare Made?” Hal itu terkait dengan penderitaan lahir dan batin mbah Kakung dan mbah Putri karena perbuatan salah satu menantunya yang nakal, kebetulan juga dari Made.

Dengan arif Mbah Uti menjawab spontan, “Sing uwis yo wis, sing kepungkur yo ben mungkur. Sing nglarani atiku dhek emben wong Made, ben suk sing nambani ya wong Made.” Dari kata-kata mbah putri tersirat keikhlasan dan harapan yang besar kepada kami terutama isteri kami untuk bisa mengobati luka hatinya. Semoga harapan Uti itu bisa kami laksanakan.

Salah satu sifat yang unik isteri saya Titik Puji Wiyanti yang  berbeda dari menantunya yang lain adalah sikapnya yang akrab layaknya seorang sahabat. Kalau menantunya yang lain menempatkan diri sebagai seorang anak yang berbakti dengan gaya santun, memakai unggah-ungguh yang komplit dan bahasa krama yang halus, maka menantunya yang satu ini karena memang tidak mahir berbahasa Jawa halus dan wataknya seperti Werkudara maka ya sudah... dhoso dan ogros. Tetapi di balik sifatnya yang kelihatan  kasar, tersembunyi sifat kewajaran yang tulus dan jujur.  Kesannya bukan sebagai anak tetapi sebagai sahabat. Bukan menempatkan diri layaknya anak mantu, tetapi sebagai kawan. Akrab dan tanpa jarak. Kesannya justru alamiah dan hangat. Baru jadi mantu satu tahun sudah berani meminta kakung untuk berhenti merokok. Opo tumon??

Dengan pendekatan yang tulus, lucu dan akrab tanpa jarak, akhirnya kakung luluh juga. Kakung mau berhenti merokok. Tentu Mbah Uti yang paling bahagia karena mbah kakung bisa berhenti merokok. Sampai-sampai Uti membuat syukuran khusus, layaknya ngluwari nadar dengan membuat tumpeng dan memotong ayam.

Trauma Sejarah
Kini sudah waktunya dilakukan konsiliasi bahwa tidak perlu lagi membeda-bedakan latar belakang partai politik dan berusaha melupakan trauma G.30 S PKI yang kelam itu. Kerukunan dan penghapusan luka-luka lama korban politik merupakan jalan tengah yang elegan. Terutama cap yang hitam sebagai anak-cucu OT yang selama ini hak-haknya sudah terzolimi, harus dihilangkan. Pelajaran Sejarah sekitar G.30 S PKI yang dibuat versi penguasa mengharuskan para guru sekolah dan pejabat daerah untuk antipati dan membenci PKI sampai ke anak dan keturunannya. Salah apa keturunannya? Di dalam Islam tidak ada dosa turunan. Benarlah kiranya kebijakan Gus Dur segera meluruskan kesalahan itu. 

Perkawinan adalah suatu yang sakral. Jika bisa lestari dalam 50 tahun, masih bisa bersama-sama menyaksikan anak dan cucu gemrayah tentu sebuah anugerah yang perlu disyukuri. Sebuah berkah dan hidayah dari Allah. Tentu tidak ada maksud lain dalam peringatan palakrama kencana ini kecuali rasa syukur dan syukur. Jika kita selamat menerobos onak duri, menapaki perjuangan dengan air mata. Saat ini sejenak Kakung dan Uti bisa tersenyum, menatap buah cinta yang siang malam digegadhang, dikekudang. Walaupun kami tidak mungkin bisa meme-nuhi seluruh harapannya.

Semoga lakon Kakung dan Uti ini masih akan terus berlanjut, happy ending dan khusnul khotimah. Kakung dan Uti dengan keturunan yang banyak dan sholeh akan mendulang pahala dari Allah. Insyaallah mengangkat Kakung dan Uti mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah. Di surga abadi. Amin.

Kami keluarga Sukabumi mengucapkan “Dirgahayu Palakrama Kencana,  50 tahun perkawinan emas Kakung dan Uti.” Kami belum bisa membalas apapun. Kali ini kami hanya berusaha membuatmu tersenyum bahagia dengan mempersembahkan wayangan lakon “Abyasa Bali Mandhita” dengan dalang yang merasa ambapa pada Kakung, pengagum Kakung,  yaitu R. Ng. Edi Sulistyono, dalang Mangkunegaran.

Kali ini, kami juga ingin memberi hadiah kepada Kakung dan Uti. Kami tahu Kakung dan Uti mendambakan anak-anaknya segera mengikuti jejak untuk naik haji. Uti telah membuat sebuah piala bergilir berupa gelang emas yang Uti beli dari sisa living cost ketika berhaji di Mekah. Gelang itu adalah simbol harapan dan doa agar anaknya segera menyempurnakan keislamannya dengan pergi ke tanah suci. Gelang itu setahun belakangan ini telah diserahkan kepada kami di Sukabumi. Dan ternyata doa kakung dan Uti diijabah Allah. Pada kesempatan ini kami akan memberikan hadiah berupa sebuah tanda pendaftaran haji yang menegaskan niat kami bahwa insyaallah tahun 2011 kami suami isteri dan ibu mertua berangkat haji ke Tanah Suci memenuhi pangilan Nabi Ibrahim. Labaik allahumma labaik..

Semoga kami mampu melaksanakan kekudangan beliau bahwa “suta ngungkulana bapa” Kami sebagi anak diharapkan bisa melebihi kualitas kejiwaan, amal  dan karya orang tua.
Para pembaca, dengan demikian kita semua telah bersaksi bahwa Kakung dan Uti adalah seorang hamba yang telah menjaga amanah dengan menaati perintah Allah. Sebagaimana firman-Nya: “Jangan tinggalkan generasi yang lemah di belakangmu!” 

Cicurug Sukabumi, Pebruari 2010
Sungkem: Undung, Titik, Dita, Bima.

Makna Jiwa Kreatif


Dimatamu masih tersimpan selaksa peristiwa
benturan dan hempasan terpahat dikeningmu
kau nampak tua dan lelah
keringat mengucur deras
namun kau tetap tabah

Meski nafasmu kadang tersengal
memikul beban yang makin sarat
kau tetap bertahan

Engkau telah mengerti hitam dan merah jalan ini
keriput tulang pipimu gambaran perjuangan
bahumu yang dulu kekar
legam terbakar matahari
kini kurus dan terbungkuk

Namun semangat tak pernah pudar
meski langkahmu kadang gemetar
kau tetap setia

Ayah,
dalam hening sepi ku rindu
untuk menuai padi milik kita
tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan
anakmu sekarang banyak menanggung beban.


Lantunan merdu lagu berjudul Titip Rindu Buat Ayah dari Ebiet G Ade memecah keheningan tengah malam. Lagu itu serasa menghantar butir-butir kenangan dan pendar-pendar rasa rindu akan sosok yang selama ini aku kagumi, karena dibatasi waktu dan jarak. Dimataku dia adalah sosok yang hebat...

Benar, dia adalah ayahku; H. Soeparno Hadimartono, BA. Dia bukan seorang pejabat publik, saudagar ataupun pejabat tinggi negara. Dia ‘hanya’ seorang guru! Ya, dulu pernah menjadi guru sekolah dasar di sebuah desa terpencil, Sokoboyo. Desa Sokoboyo berada di sebelah utara sekitar 9 km dari kota Kecamatan Slogohimo Kabupaten Wonogiri.

Dalam usianya menjelang 73 tahun, aku meyakini dia telah menyimpan perjalanan hidup yang panjang dan penuh makna, telah mengerti hitam dan merah jalan ini. Dan hingga kini, dia masih tampak segar dan masih melakukan aktifitas yang cukup berat seperti dangir di kebun, ngarit pari di sawah maupun mengurusi rekan-rekannya pensiunan di PWRI Kecamatan Slogohimo dalam memperoleh hak dana pensiun dan berbagai hal administratif lainnya. Kadang sampai seminggu 2-3 kali harus bolak-balik Slogohimo-Solo mengurusi proses itu.

Semua itu dilakukan dengan tulus dan ikhlas, mengalir tanpa beban. Mungkin itulah salah satu resepnya panjang umur. Kegiatan-kegiatan itu sekaligus pengisi waktu pensiun disamping kegiatan keagamaan yang hampir tak ada putus-putusnya menjadikan kesehatannya selalu terjaga karena mobilitas yang cukup tinggi itu. Dia bukan pribadi yang lumuh (malas), dia sepertinya selalu punya energi yang tidak habis-habisnya; kalau orang Jawa bilang; ora duwe udel. Inginnya bergerak dan selalu bergerak, tumandang dan terus tumandang.
Kenangan ini aku tulis sebagai sebuah bhakti dan pengakuan bahwa dari sosoknya aku menemukan sebuah pemak-naan hidup.

Jiwa seni yang aku miliki tidak lepas dari didikannya, maklum dia juga seorang guru menggambar di SMP Marhaen Slogohimo (selanjutnya menjadi SMP Donoloyo lalu SMP Pancasila 5), jiwa kreatifitas yang aku punya juga tak lepas dari gemblengannya. Sebagai guru menggambar, biasanya ketika memberi nilai dari tugas-tugas menggambar muridnya, bapak pasti membawa pulang tugas-tugas itu, pada saat itulah aku sering diajak dan dimintai pendapat; gambar ini layak dapat nilai berapa, mengapa? Kalau dirasa pendapatku salah, bapak tentu akan menjelaskan dengan sederhana yang dapat aku mengerti. Soal tugas menggambar; aku akan selalu menunggu hasil gambar dari salah satu murid bapak yang jago menggambar, namanya Sulami dari Bulusari. Dia sangat piawai menggambar perspektif dan lighting dengan goresan pensil. Kemudian ketika aku duduk di kelas 5 SD Slogohimo III, Bu Sulami malah menjadi guruku menggambar (guru kesenian).

Kenangan lain; dulu saat aku masih duduk di sekolah dasar, ketika bapak ada tugas membuat backdroop –tulisan dilayar kain untuk suatu acara di kecamatan-- aku sering diajak dan dilibatkan, seperti menggunting huruf dan menempelkan huruf itu di kain yang telah dibentangkan. Sadar atau tidak, proses itulah yang telah membentuk aku menjadi seorang desain grafis.

Aku sangat beruntung berada di lingkungan yang melek pendidikan, sejak kelas 1 SD, karena belum bisa membaca; bapak dengan telaten membacakan cerita-cerita dari koran atau majalah langganannya seperti; Penjebar Semangat, Kuncung, Suara Merdeka, Suara Karya, maupun Bahari dan memberi penjelasan-penjelasan atas cerita itu.

Dari kebiasaan itulah aku menjadi gemar membaca. Bahkan sejak kelas 2 SMP hingga kuliah, aku selalu bergantian dengan bapak untuk membaca kelanjutan buku cerita bersambungnya SH. Mirtardja seperti Nagasasra Sabuk Inten, Api di Bukit Menoreh jilid 2 sampai jilid 4 maupun Kembang di Atas Karang. Boleh dikatakan bapak adalah penggemar berat buku-buku cerita bersambung itu. Berhenti membaca cerita Api di Bukit Menoreh karena penulisnya meninggal dunia.

Sehingga kelanjutan cerita Glagah Putih dan Rara Wulan setelah mengalahkan Podang Kuning yang berambisi menyatukan simbol Macan Kepatihan berupa Tongkat Wesi Putih, yang salah satunya milik Sekar Mirah istri Lurah Agung Sedayu. Pasangan Glagah Putih dan Rara Wulan itu kemudian tapa ngalong dan tapa ngidang guna menambah ilmunya. Akhirnya, dengan sangat terpaksa cerita bersambung itu harus cuthel sebelum tamat.

Kebiasaan lain adalah buku-buku perpustakaan yang menjadi inventaris sekolahan bapak (saat menjadi kepala sekolah SD Sokoboyo I maupun SD Pandan I) setelah diambil dari kantor P dan K pasti mampir ke rumah dulu sebelum di-bawa ke sekolahannya, biasanya sampai 1-2 minggu disimpan di rumah untuk memberi kesempatan aku, adik dan kakak membaca buku-buku perpustakaan itu.

Disamping pribadi yang konsisten akan komitmen terhadap pendidikan sebagai profesinya, dia juga seorang yang telaten dan penyabar dalam mendidik anak-anaknya. Waktu aku kecil, adalah jamak ketika para tetangga dalam mendidik anak menggunakan cara-cara kekerasan seperti menampar, menempeleng atau memukul dengan bambu atau bahkan  memakai kayu. Tapi, aku belum pernah sekalipun mendapat perlakuan kasar dari bapak, paling parah mendapat herdikan. Biasanya kalau aku melakukan tindakan yang salah, kemlinthi –nakal—bapak dengan penuh perhatian akan memberi nasehat-nasehat dengan membandingkan dan memberi contoh-contoh riil yang ada disekitarku.

Bapak mengibaratkan mendidik anak itu seperti per-mainan layang-layang; diterbangkan ketika angin bertiup sepoi-sepoi sebatas kemampuan benangnya, tidak perlu dipaksakan benang menjadi habis, ketika layang-layang tidak seimbang maka harus segera dibenahi agar mampu terbang dengan sebaik-baiknya. Kondisi benangpun harus disesuaikan dengan kondisi layang-layang, tentunya layang-layang kecil tidak akan mampu mengangkat benang kasur atau benang nilon yang berat itu, begitu juga sebaliknya; layang-layang besar tentu akan cepat putus apabila menggunakan benang yang kecil. Ketika hujan atau angin bertiup kencang, maka benangpun akan segera digulung agar layang-layang menjadi aman; tidak rusak. Begitulah bapak menjiwai benar makna mendidik dalam arti yang seluas-luasnya.

Akupun pernah manjadi muridnya ketika duduk di bangku kelas 1 dan 2 SMP Negeri Slogohimo, waktu itu bapak mengajar Bahasa Jawa. Bukan karena apa-apa kalau nilaiku cukup bagus; yang jelas karena kesempatan membaca buku-buku panduan yang bapak miliki maupun faktor rasa malu, “Masa bapaknya yang mengajar koq nilainya jelek.” Kondisi itu benar-benar membuat aku harus selalu berusaha agar nilaiku tidak kalah dengan teman-teman yang lain. Disamping itu, budaya Jawa menurutku merupakan budaya yang benar-benar adi luhung, lengkap selengkap-lengkapnya.

Hal itulah yang akhirnya mempola kepribadianku; sapa kumrembyah bakal mamah, wani ngalah dhuwur wekasane, rukun agawe santosa crah agawe bubrah, nglurug tanpa bala-menang tanpa ngasorake-nungkul sarana aris, nrima ing pandum, kayungyun pepoyaning kahutaman dan filsafat-filasat Jawa lainnya yang membuat hidup ini menurutku jadi terasa lebih tenteram.

Kalau dari ibu, Hj. Sulamsini, aku menemukan pembelajaran yang lengkap pula. Selain pendidik yang ulung, pandai nembang dan mendongeng, dia adalah tulang punggung ekonomi keluarga yang piawai. Dia benar-benar Srikandi dalam arti yang sebenar-benarnya; pejuang yang gigih, pantang menyerah dan selalu memberikan contoh-contoh positif kepada anak-anaknya terutama dalam pengelolaan ekonomi keluarga, ibuku seperti kandhi, lumbung atau pedaringan yang tidak pernah habis isinya.

Aku akan selalu terkenang ketika kelas 6 SD; tiap pagi harus belanja ke pasar sebelum masuk sekolah, dan setelah pulang sekolah harus memasak di dapur. Kondisi itu aku jalani karena kakak-kakak perempuan sekolah di Wonogiri dan Solo, sehingga tanggung jawab masalah dapur aku yang harus menyiapkan. Dari hal-hal kecil seperti itulah, ibu mendidik aku untuk mengerti cara mengurus rumah tangga. Dari sosoknyalah aku terobsesi menjadi ekonom, sehingga aku kuliah di Fakultas Ekonomi UMS. Sayang karena kondisi, obsesi itu tidak dapat aku persembahkan untuk ibuku. Minimal kekagumanku kepada ibuku aku patri menjadi nama anakku; Nastiti Lamsri…. Aku berharap anakku menjadi pribadi yang setiti, nastiti, ngati-ati (hemat dan hebat) seperti mbah Lam dan mbah Sri (Sri Suparmi, ibu mertuaku yang juga pandai mengelola ekonomi keluarga).

Justru di dunia kerja; aku dapat menggabungkan dua sumber kemampuan dari bapak dan ibu. Sebagai Desain Grafis sekaligus dipercaya mengelola manajerial dua pabrik industri spanduk di PT Atria Bentara Communica Palur Karanganyar, kenyataan itu bukti prestasi optimal kemampuan profesionalitasku, yang tidak mungkin lepas dari sentuhan tangan dan pangggulawenthah kedua pribadi hebat itu; H. Soeparno Hadimartono, BA – Hj. Sulamsini, BA.

Wilujeng ambal warsa Palakrama Kencana; Mugi tansah panjang yuswa, seger kwarasan, awet momong anak putu buyut canggah…..


Kandangsapi Solo, Pebruari 2010
Sungkem pangabekti: Kun, Ari, Aji, Arum

Sedhahan


Blog punika mugi dados sarana kangge sarasehan dhumateng sedaya sanak kadang mitra rowang gegandhengan kaliyan Biografi H. Soeparno Hadimartono ingkang sampun dipun terbitaken rikala tanggal 20 Pebruari 2010.

Sumangga ingkang badhe nderek nyerat utawi maringi pamrayoga kula sumanggaken...

Mugi saget ndadosaken suka rena saha pikantuk seserepan ingkang migunani sak sampunipun maos Biografi punika.

Matur nuwun.