Bisikan Kalbu


Dalam kesempatan yang indah ini, mas Ikun sebagai pengatur pembuatan biografi Ibu dan Bapak meminta kami agar membuat tulisan kami tentang beliau; Hj. Sulamsini, BA dan H. Soeparno Hm, BA.

Aku; Anin Saptantri, putra ragil beliau.
Beliau ngendika bahwa namaku berasal dari hari kelahiranku yang Senin, jadi anak yang lahirnya senin, disingkat Anin. Dalam Ats-Tsakasur ‘anin berarti nilai lebih. Sedangkan Sapta artinya tujuh. Aku anak ke tujuh. Tri artinya tiga, karena aku putri ketiga dari tujuh putra beliau. Maka jadilah namaku Anin Saptantri.

Sebagai guyonan aku dikatakan sebagai anak yang lahir diluar perkiraan, karena aku lahir setelah woro-woro dari pemerintah tentang KB, dimana ibu juga sudah mengikutinya, tetapi karena ketiga kakakku laki-laki (mas Amrih, mas Ikun dan mas Iluk) maka kehadiranku sangat diharapkan.

Masa kecilku sudah jauh lebih baik dari mbak-mbak dan mas-mas yang lain. Karena ragil, aku dimanja itu pasti. Selain itu memang karena keadaan keluarga semakin hari dan semakin mapan, jamannya juga menjadi semakin baik. Bila saat mbak Yayuk dan mbak Lilis kecil harus adang nasi jagung dan thiwul tiap hari, mulai dari ngecroh jagung dan ketela hingga menanaknya jadi nasi untuk keluarga dan masih menyediakan juga untuk puluhan pekerja pembuat rumah, maka aku sudah tidak mengalaminya. Suatu masa yang indah untuk dikenang, dijadikan wasiat untuk diendapkan sebagai pelajaran berharga yang menjadikan kami tidak semena-mena kepada orang lain.

Saat paling awal aku mengingat sesuatu, mungkin ketika aku dijahitkan baju oleh mbah Lam. Aku kelas 1 SD. Waktu itu aku dipanggil untuk mengepas baju. Aku bahagia sekali karena akan segera punya baju baru. Mempunyai baju baru bagi anak kecil adalah sesuatu yang menyenangkan sekali. Mesin jahitnya masih ada sampai sekarang. Bila aku melihatnya, maka kenangan itu terbayang kembali, sehingga rasa bahagianya juga terulang lagi.

Kalau dengan Bapak, waktu aku sakit saat kelas 3 atau 4 SD, aku sedang berbaring karena masih lemah, bapak kondur dari mengajar, melihat dan menyapaku, menanyakan apa masih sakit lalu disuruh istirahat. Bapak kemudian maringi uang 100 rupiah, koin tebal bergambar kapal, sungguh bahagianya hatiku, anak kecil yang tidak tiap hari mendapat uang saku, dimana uang saku waktu itu 5 rupiah sudah bisa untuk membeli macam-macam makanan..., wah ini diparingi 100 rupiah!! Begitulah Bapak dan Ibu selalu memberikan kebahagiaan dan dukungan sejak kami kecil.

Aku suka mengikuti banyak kegiatan Bapak di sekolah-sekolahnya. Seperti di SDN Pandan 1 dan SDN Slogohimo 2. Kalau dengan ibu ketika beliau menjadi Kepala di SDN Waru 2.
Diantaranya ketika itu menjelang hari Pramuka. SDN Slogohimo 3 sudah selesai latihan pramuka, tetapi SDN Pandan 1 masih ada latihan. Bapak pas tindak ke sana aku diperbolehkan ikut. Dengan suka cita aku ndherek ke Pandan 1. Sampai di sana aku ikut-ikutan latihan dan saling berbagi pengalaman dengan anak Pandan 1 yang sebaya denganku. Kami saling belajar tentang pramuka. Ada beberapa pengalaman yang tak terlupa-kan. Kesan yang mendalam tertanam dalam hati tentang pramu-ka dan pecinta alam hingga kini.

Masih tentang Pandan 1, waktu itu Bapak kondur dari sana ngasta seconthong penuh bakwan jagung hasil praktek mema-sak mereka.. sungguh nikmat kurasakan bakwan jagung itu, rasa kasih atas hasil karya rekan-rekanku juga menambah gurihnya sang bakwan. Sampai-sampai saat ini bakwan jagung adalah makanan favoritku.

Bapak yang sering mengunjungi sekolah walau hari minggu justru memberiku kesempatan untuk bisa ikut ke sekolah. Kadang memperbaiki pagar sekolah, menata taman, menghias dinding kelas dengan gambar pahlawan, menata buku perpus-takaan, dan lain-lain. Sehingga tanpa sengaja aku telah ikut belajar. Banyak buku yang mungkin di sekolahanku tidak ada, malah tersedia di sana.

Dengan ibu yang kuikuti waktu di SDN Waru 2. Ketika itu ada perpisahan kelas 6. Aku menari Black Dik Dot dengan Teguh. Tarian dengan kostum dan iringan jenaka dipadu de-ngan penutup kepala yang diberi balon. Make up-nya mirip Bagong dalam Punakawan. Wah lucu sekali..


Karena beliau adalah guru, maka kegiatan belajar sudah seperti biasa dilakukan sehari-hari. Membaca adalah kegiatan yang kusenangi. Membaca apa saja. Karena kami bersaudara banyak, maka belajar membaca dan menulis tidak harus dari Bapak dan Ibu langsung. Mungkin kalau mbak Yayuk dan mas Undung dulu belajar langsung dari beliau. Secara bergantian kakak mengajari adiknya, kemudian mengajari adiknya lagi dan seterusnya.. alangkah indahnya. Walau tentu saja beliau tetap memantau. Yang aku ingat pas aku bisa membaca yang mengajari mas Ikun. Waktu itu aku disuruh membaca judul berita dalam koran yang besar-besar dulu, baru kemudian yang sedang lalu yang kecil-kecil.

Aku senang karena aku medhok dalam belajar bahasa Jawa. Bapak juga yang mencetaknya, hingga sekarang masih melekat erat pelajaran-pelajaran bahasa Jawa yang dulu diajarkannya. Beliau mengajarkan sesuatu beserta jiwanya, tidak hanya kulit luarnya saja. Sangat jarang guru di sekolah yang bisa begitu.

Ibu Mengajariku Semua
Segala detail tentang kehidupan ini beliau ajarkan dengan sabar, saking detailnya kadang aku yang belum mudheng jadi tidak sabar. Tapi karena itu berulang-ulang, malah jadi ciriku saat ini. Aku juga jadi orang yang suka detail.

Ibu mengajarkan pengabdian tanpa batas. Untuk masya-rakat, untuk anak didik, untuk suami, untuk orang tua, untuk orang miskin, untuk yatim-piatu, untuk tuna wisma, untuk se-mua orang dan terutama untuk kami, anak-anaknya. Semangat beliau tak pernah padam.

Untuk apa saja. Untuk belajar, beraktivitas, bekerja, dan berdoa. Bapak pernah ngendika kalau doa, doa ibu itu yang manjur.... Karena kalau berdoa ibu benar-benar pasrah. Allah Maha Satu yang beliau sembah, beliau jadikan sandaran pengab-dian dan doa. Aku kadang berpikir. Bisakah aku nanti seperti ibu? Yang menyandarkan segenap hidupnya hanya kepada Allah subhana wa ta’ala, azza wa jalla? Ibu yang doa-doanya selalu terkabul....

Ibu mengajariku hemat. Dulu aku muda kadang berontak, mengapa beliau selalu berhemat? Tak bisakah longgar sedikit? Sekarang aku baru sadar, betapa masa itu benar-benar sulit, perlu perjuangan keras tak terhingga, kesadaran, pengendalian diri dan kesabaran tak terbatas. Agar semua bisa berjalan, agar semua teratasi, agar tercapai tujuan.... oh, alangkah mulia.
Ibu mengajariku detail risalah nabi besar Muhammad saw, beserta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.

Ketika aku SMP tidak banyak yang lucu-lucu. Mungkin karena sudah dianggap besar, jadi masa-masa belajar materi dasar kehidupan sudah bisa dibaca sendiri atau diperoleh dari pelajaran dan pengamatan.

Masih kuingat ketika ibu selalu berjalan melewati jalan depan SMPN 1 Slogohimo untuk menuju SDN Waru 2. Waktu itu, apa ya alasannya kok Bapak tidak mengantar ke Waru 2 dulu? Ya kadang diantar kadang tidak. Sering kulihat waktu aku upacara bendera, ibu tindak mengenakan sepatu kets coklat muda melintasi depan SMPN untuk ke Gathon.. cukup jauh juga, kan? Belum lagi kalau hujan. Walau belum seberapa bila dibandingkan ketika beliau berdua menempuh pendidikan di Wonogiri, juga sering dilakukan dengan berjalan kaki. Benar-banar pejuang sejati. Demi siswa-siswi yang menunggunya, demi para guru yang menunggunya, demi kami anak-anaknya, demi kehormatannya sebagai insan yang berbekal pengetahuan yang harus ditularkannya..
 
Ibu... Berkaca mataku..
Bapak... Tak kan bisa aku melukiskan..
Betapa agung segala yang telah beliau lakukan untuk kami,
untuk sanak saudaranya,
untuk masyarakat....


Hebatnya nilai pengorbanan dan pengabdian yang selalu beliau ajarkan membentuk sanubari kami menjadi jiwa yang kaya bila mampu memberikan yang terbaik untuk sesama.

Hal yang menumbuhkan semangat bila hati gundah ada-lah ketika kita mampu memberi sesuatu pada orang lain, itulah yang beliau selalu ajarkan. Tidak selalu uang. Bahkan bisa dika-takan tidak pernah uang. Apalagi sekarang. Orang jarang yang perlu uang. Bila mau jujur, kalau segala sesuatu telah terpenuhi, siapa yang butuh uang? Laksana minum air lautan, semakin banyak semakin haus!!

Mungkin hanya sepotong ketela rebus, mungkin hanya secangkir teh cap dandang, mungkin hanya selirang pisang atau sebutir pokat. Sebuah mulwa, sebutur kepel atau kambil.., tapi sungguh sangat berarti. Karena dasarnya adalah hati. Itulah yang selalu diajarkan ibuku. Hati kita akan semakin lapang justru dikala kita memberikan hati kita kepada orang lain.
Dulu aku tidak paham, sekarang aku menikmati pengala-man ini dan bersyukur ibu dan bapak mengajarkannya padaku.

Menjelang memasuki SMA, ibu memintaku masuk SMEA atau sekolah bidan, waktu itu SPK. Tapi dasar ABG, belum bisa berpikir realistis, maunya ya SMA dan nantinya kuliah. Setelah lulus SMA ternyata benar!!! Lulusan SMEA dan SPK waktu itu bisa langsung mendapat pekerjaan atau kesempatan melan-jutkan kuliah sambil bekerja. Tapi nasi sudah terlanjur lembek.. jadi harus bertanggung jawab.

Bapak lain lagi, beliau memastikan aku bisa lolos SMAN 1 Wonogiri, padahal teman-temanku masuk SMAN 2 saja takut.. waktu itu SMAN 2 masih baru. Tetapi ternyata aku lolos!! Beliau juga mengantarkanku mencari tempat kos.

Setelah lulus SMA lagi-lagi ibu mengusulkan, “Mbok ya ambil sekolah guru saja...” Tetapi aku menolak. Aku ingin jadi pegawai bank! Aku memang mengambil kuliah di manajemen, tapi pada kenyataannya pekerjaan pertamaku adalah menjadi pengajar komputer di SMK.
Dari awal aku telah menolak jiwa pengajar yang telah melekat erat dalam kalbuku, tapi aku benar-benar tak kuasa. Diantara sekian pekerjaan yang pernah aku lakoni, hanya dari mengajar aku mendapatkan kelegaan! Karena inti pengabdian dan pengorbanan agar kita dapat memberikan hati kita kepada orang lain ada di sana.

Pengajar makin hari bisa makin pintar. Pengajar mendu-duki rating tinggi sebagai orang yang tidak cepat menjadi lupa, tidak mudah pikun dan tidak cepat meninggal karena selalu membaca dan belajar....

Ya Allah, Kau telah berkenan memberi kami orangtua yang tangguh, orangtua yang tiada duanya. Kasihilah Bapak dan Ibuku, ya Allah. Berikanlah nikmat iman dan taqwa, sehat dan semangat, gembira dan bahagia untuk keduanya, wujudkanlah rasa syukur dan terima kasih kami sebagai pahala yang melim-pah tak terbatas kepada Ibu dan Bapak kami....

Kesalahan dan kenakalan kami sejak kecil hingga sekarang pada beliau berdua tentu sangat banyak, maafkanlah kami duhai bunda, ayahanda; kami senantiasa  menyayangi Bapak dan Ibu. Tak ada kecintaan kami pada orang lain yang bisa menyamai kecintaan kami pada beliau berdua.

Wilujeng Ambal warsa Palakrama Kencana; Robbi firli wali walidayya warhamhuma kamma robbayani soghiro. Amin.

Jamus, Pebruari 2010
Sembah sungkem; Anin, Heri, Bogi.

3 komentar:

yonfhuda 26 April 2013 pukul 23.34  

benar.. memang masih saya ingat beberapa nama di keluarga ini. Meski saat ini mungkin sudah sangat laen keadaanya, yang saya ingat dulu "anin" adalah gadis kecil tomboy dengan rambut pendek. Salam buat mas iluk
Dari saya : Yon Fatkhunal huda, S.Pd , M.Eng
(putra alm Bp. Supriyono)

Unknown 30 Maret 2019 pukul 13.51  

Terimakasih mas Yon..
maturnuwun msh ingat sy.. hehe
enggih, leres sy dl spt itu
Waalaikum salam dari mas Iluk..
salam dari kami, katur sekeluarga

Unknown 30 Maret 2019 pukul 15.17  

Sewoko punya blok ya..baru ngerti..hi. Hi

Posting Komentar

Sedhahan


Blog punika mugi dados sarana kangge sarasehan dhumateng sedaya sanak kadang mitra rowang gegandhengan kaliyan Biografi H. Soeparno Hadimartono ingkang sampun dipun terbitaken rikala tanggal 20 Pebruari 2010.

Sumangga ingkang badhe nderek nyerat utawi maringi pamrayoga kula sumanggaken...

Mugi saget ndadosaken suka rena saha pikantuk seserepan ingkang migunani sak sampunipun maos Biografi punika.

Matur nuwun.