Sepenggal Amanah dari Kakung-Uti


Biografi kakung, H. Soeparno Harimartono berjudul Tembang Alas Donoloyo ini hakekatnya adalah pesan perjuangan yang  ditulis untuk anak dan cucu dan kita semua. Biografi singkat ini menyiratkan keinginan bahwa banyak hal yang tidak ingin dilupakan oleh kakung.

Terutama adalah hal-hal yang menyiratkan cinta, semangat, perjuangan  dan sisi-sisi humanisme dalam sekeping kehidupannya. Ada canda, ada suka dan duka. Ada juga kebijakan moral yang pantas dijadikan sumber spirit dan tauladan untuk generasi berikutnya.  Semoga kita mendapat  hikmah dari buku ini.

Kakung sudah mempertaruhkan segalanya untuk mengatakan sayang dan cintanya kepada anak-anak dan cucunya. Mengekspresikan cinta dengan tidak memanjakan anak-anaknya, namun dengan memberi contoh nyata dalam kesehariannya. Bagi kakung cinta tidak perlu diucapkan. Cinta adalah perbuatan. Kasih sayangnya adalah jejak langkah yang telah dilakukan. Hal yang perlu diteladani dari seorang kakung adalah semangat dan ketekunannya dalam menghadapi segala kesulitan. Setiap jengkal waktunya dihabiskan untuk berkarya dan berkarya. Mana pernah waktunya dibiarkan berlalu tanpa makna. Wajah kakung  yang tidak pernah tersirat mengeluh, atau putus ada. Tangan, kaki dan darahnya  rela diserahkan untuk keluarga dan bangsa. Keterampilan tangannya bagai mesin. Tidak ada pekerjaan yang tidak bisa diselesaikan dengan baik. Kasar maupun halus. Keterampilannya dan daya tahan serta ketekunannya sering membuat kita anak-anaknya malu.

Semangat pantang menyerah dan tanggung jawabnya kepada keluarga menjadi spirit bagi putra dan putrinya dalam mengarungi hidup. Jiwanya yang enthengan suka menolong siapa saja. Baik saudara muapun orang lain. Kegemarannya beramal dan mengajarkan Al Quran adalah kebanggaan yang luar biasa.  Kalau mengajar anak-anak membaca tentu lebih mudah karena otaknya masih fresh. Tapi kakung ini adalah  mengajarkan pemberantasan buta huruf alquran kepada orang-orang yang sepuh. Sudah dewasa, pensiunan bahkan nenek-nenek. Tentu membutuhkan jiwa besar, kesabaran, ketekunan dan metode pendekatan yang khusus. Butuh pendekatan psikologi yang mantab, selain juga perasaan tanpa pamrih, lillahi taala. Kakung melakoninya dengan bersemangat dan iklas. Subhanallah....

Perkawinan saya dengan isteri saya Titik, secara tidak langsung mbah Kakung juga yang menautkan. Ketika itu Kakung berkunjung ke kediaman saya di Bekasi. Sudah tujuh bulan saya menduda ditinggal isteri; Wigarti yang meninggal dunia karena kanker. Kakung tentu kasihan melihat saya hidup sendiri, lalu beliau mengusulkan agar saya menikah lagi, “Kowe tak golekke bojo ya le.”

“Lha mbok enggih... Sinten larene Mbah?,” jawab saya menanggapi dengan sersan ‘serius tapi santai’ karena hormat saya kepada beliau.
“Iki ana anake muridku ngaji asmane Mbak Titik. Ibune asmane Bu Parmin. Iki nyoh nomer telpone hubungana!  Kandhoa yen keng Ibu wis katam Al Quran, Pak gurune ngaji nyuwun hadiah pepes iwak mas... minggu ngarep arep tindak mrene..”
Begitulah pesan Kakung yang sebenarnya sebuah rancangan skenario. Kakung memang setiap lebaran mendapat bingkisan lebaran dari para ‘muridnya’ karena jasanya sebagai guru ngaji. Kalau dicaosi uang mana mau. Suatu saat lebaran pernah dipisungsung pepes ikan mas dari Sukabumi.

“Nggih kula hubungane bocahe,” saya sanggupi.
Sayapun lalu berkomunikasi dan saling menjajagi, sebatas telpon. Beberapa waktu kemudian, karena masalah ini mulai mengarah ke perjodohan saya lalu puasa dan melakukan shalat istikharoh. Suatu malam saya mendapat sebuah mimpi yang jelas sekali. Di dalam mimpi itu Kakung dan Mbah Uti melamar Titik. Ketika kakung menyampaikan maksudnya, Titik diam saja tidak menjawab, malah lari masuk rumah. “Piye ta pak kok ndhuk Titik meneng wae, malah mlayu mlebu. Gelem ora,” mbah putri setengah khawatir bertanya kepada kakung.
“Nek cah wadon dilamar meneng wae ki tegese gelem.” kata mbah kakung yakin. 


Anehnya ketika saya berkunjung ke Sukabumi dan pertama bertemu dengan Titik ternyata pawakan dedeg piadegnya persis seperti yang ada di dalam mimpi. Saya tambah yakin kalau jodoh pilihan kakung  ini memang sudah ditakdirkan Allah menjadi sisteri saya.
Baru pertama berjumpa, belum juga berkenalan lebih lanjut. Saya langsung tembak, “Mau nggak jadi isteri saya?”
“Enak aja, baru juga kenal. Memangnya wayang apa?” jawab Mbak Titi ketus. Tentu dia kaget menerima lamaran Burisrawa. Maklum, sebagai seniman, rambut saya waktu itu gondrong seperti Burisrawa. Mimpi apa semalam, ketemu orang nekat seperti saya.
“Suk mben ngenteni apa, pancen anane kaya ngene. Aku Duda, anakku loro?” jawab saya ndhagel. Waktu itu anak saya Bima dan Dita juga saya ajak.

Jodoh memang tidak kemana-mana. Dua minggu kemudian saya sudah mendapat jawaban. Dua bulan kemudian kami menikah. Gara-gara kakung mengajarkan Al Quran saya mendapat isteri.
“Masak guru ngaji njaluk opah anak wedok? Larang temen opahe!” demikian Mbah Parmini mertua saya  sering berseloroh.

Ketika kami akan menikah ada salah seorang tetangga yang menyeletuk kepada Mbah Uti, ”Napa mboten kapok ta mbah entuk mantu lare Made?” Hal itu terkait dengan penderitaan lahir dan batin mbah Kakung dan mbah Putri karena perbuatan salah satu menantunya yang nakal, kebetulan juga dari Made.

Dengan arif Mbah Uti menjawab spontan, “Sing uwis yo wis, sing kepungkur yo ben mungkur. Sing nglarani atiku dhek emben wong Made, ben suk sing nambani ya wong Made.” Dari kata-kata mbah putri tersirat keikhlasan dan harapan yang besar kepada kami terutama isteri kami untuk bisa mengobati luka hatinya. Semoga harapan Uti itu bisa kami laksanakan.

Salah satu sifat yang unik isteri saya Titik Puji Wiyanti yang  berbeda dari menantunya yang lain adalah sikapnya yang akrab layaknya seorang sahabat. Kalau menantunya yang lain menempatkan diri sebagai seorang anak yang berbakti dengan gaya santun, memakai unggah-ungguh yang komplit dan bahasa krama yang halus, maka menantunya yang satu ini karena memang tidak mahir berbahasa Jawa halus dan wataknya seperti Werkudara maka ya sudah... dhoso dan ogros. Tetapi di balik sifatnya yang kelihatan  kasar, tersembunyi sifat kewajaran yang tulus dan jujur.  Kesannya bukan sebagai anak tetapi sebagai sahabat. Bukan menempatkan diri layaknya anak mantu, tetapi sebagai kawan. Akrab dan tanpa jarak. Kesannya justru alamiah dan hangat. Baru jadi mantu satu tahun sudah berani meminta kakung untuk berhenti merokok. Opo tumon??

Dengan pendekatan yang tulus, lucu dan akrab tanpa jarak, akhirnya kakung luluh juga. Kakung mau berhenti merokok. Tentu Mbah Uti yang paling bahagia karena mbah kakung bisa berhenti merokok. Sampai-sampai Uti membuat syukuran khusus, layaknya ngluwari nadar dengan membuat tumpeng dan memotong ayam.

Trauma Sejarah
Kini sudah waktunya dilakukan konsiliasi bahwa tidak perlu lagi membeda-bedakan latar belakang partai politik dan berusaha melupakan trauma G.30 S PKI yang kelam itu. Kerukunan dan penghapusan luka-luka lama korban politik merupakan jalan tengah yang elegan. Terutama cap yang hitam sebagai anak-cucu OT yang selama ini hak-haknya sudah terzolimi, harus dihilangkan. Pelajaran Sejarah sekitar G.30 S PKI yang dibuat versi penguasa mengharuskan para guru sekolah dan pejabat daerah untuk antipati dan membenci PKI sampai ke anak dan keturunannya. Salah apa keturunannya? Di dalam Islam tidak ada dosa turunan. Benarlah kiranya kebijakan Gus Dur segera meluruskan kesalahan itu. 

Perkawinan adalah suatu yang sakral. Jika bisa lestari dalam 50 tahun, masih bisa bersama-sama menyaksikan anak dan cucu gemrayah tentu sebuah anugerah yang perlu disyukuri. Sebuah berkah dan hidayah dari Allah. Tentu tidak ada maksud lain dalam peringatan palakrama kencana ini kecuali rasa syukur dan syukur. Jika kita selamat menerobos onak duri, menapaki perjuangan dengan air mata. Saat ini sejenak Kakung dan Uti bisa tersenyum, menatap buah cinta yang siang malam digegadhang, dikekudang. Walaupun kami tidak mungkin bisa meme-nuhi seluruh harapannya.

Semoga lakon Kakung dan Uti ini masih akan terus berlanjut, happy ending dan khusnul khotimah. Kakung dan Uti dengan keturunan yang banyak dan sholeh akan mendulang pahala dari Allah. Insyaallah mengangkat Kakung dan Uti mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah. Di surga abadi. Amin.

Kami keluarga Sukabumi mengucapkan “Dirgahayu Palakrama Kencana,  50 tahun perkawinan emas Kakung dan Uti.” Kami belum bisa membalas apapun. Kali ini kami hanya berusaha membuatmu tersenyum bahagia dengan mempersembahkan wayangan lakon “Abyasa Bali Mandhita” dengan dalang yang merasa ambapa pada Kakung, pengagum Kakung,  yaitu R. Ng. Edi Sulistyono, dalang Mangkunegaran.

Kali ini, kami juga ingin memberi hadiah kepada Kakung dan Uti. Kami tahu Kakung dan Uti mendambakan anak-anaknya segera mengikuti jejak untuk naik haji. Uti telah membuat sebuah piala bergilir berupa gelang emas yang Uti beli dari sisa living cost ketika berhaji di Mekah. Gelang itu adalah simbol harapan dan doa agar anaknya segera menyempurnakan keislamannya dengan pergi ke tanah suci. Gelang itu setahun belakangan ini telah diserahkan kepada kami di Sukabumi. Dan ternyata doa kakung dan Uti diijabah Allah. Pada kesempatan ini kami akan memberikan hadiah berupa sebuah tanda pendaftaran haji yang menegaskan niat kami bahwa insyaallah tahun 2011 kami suami isteri dan ibu mertua berangkat haji ke Tanah Suci memenuhi pangilan Nabi Ibrahim. Labaik allahumma labaik..

Semoga kami mampu melaksanakan kekudangan beliau bahwa “suta ngungkulana bapa” Kami sebagi anak diharapkan bisa melebihi kualitas kejiwaan, amal  dan karya orang tua.
Para pembaca, dengan demikian kita semua telah bersaksi bahwa Kakung dan Uti adalah seorang hamba yang telah menjaga amanah dengan menaati perintah Allah. Sebagaimana firman-Nya: “Jangan tinggalkan generasi yang lemah di belakangmu!” 

Cicurug Sukabumi, Pebruari 2010
Sungkem: Undung, Titik, Dita, Bima.

0 komentar:

Posting Komentar

Sedhahan


Blog punika mugi dados sarana kangge sarasehan dhumateng sedaya sanak kadang mitra rowang gegandhengan kaliyan Biografi H. Soeparno Hadimartono ingkang sampun dipun terbitaken rikala tanggal 20 Pebruari 2010.

Sumangga ingkang badhe nderek nyerat utawi maringi pamrayoga kula sumanggaken...

Mugi saget ndadosaken suka rena saha pikantuk seserepan ingkang migunani sak sampunipun maos Biografi punika.

Matur nuwun.