2. Digendhong Kethek


Semenjak bapak meninggal dunia dan simbok pergi merantau ke kota, aku tinggal bersama kakek di Desa Watusomo. Desa ini terletak di lereng hutan Donoloyo. Donoloyo memang dulu berupa rimba yang dipenuhi varietas tanaman umumnya tumbuh di wilayah tropis.

Sedangkan hutan ini terletak di ujung selatan Kecamatan Slogohimo, Kabupaten Wonogiri. Hutan Donoloyo pada waktu itu memang masih terlihat subur dan nampak lebih lebat dibandingkan keadaan sekarang. Perbedaan yang paling mencolok adalah kondisi air yang mengalir di sungai Bogowonto. Dulu airnya deras dan bening serta masih banyak ikan yang hidup dengan bebas. Tetapi kini airnya lebih keruh dan tidak sebesar dulu lagi. Sementara hutan Donoloyo, waktu dulu terkenal dengan gerombolan kera yang sering mengganggu ladang petani, tapi sekarang kera-kera itu telah punah berganti burung-burung bethet yang berjumlah ribuan.

Konon, binatang yang hidup di hutan Donoloyo adalah pertanda jaman. Ketika kera masih merajalela, hal itu menandakan bahwa penduduk di sekitarnya juga masih terbawa dengan kehidupan seperti layaknya sifat kera --hanya mencari makan dan mengganggu tanaman di ladang. Bila sekarang burung bethet yang merajalela di hutan Donoloyo diyakini kalau sifat masyarakatnya seperti halnya burung. Mereka mencari makan secara berpindah dan bersuara keras, namun tidak jelas nadanya.

Sedangkan Desa Watusomo sendiri terletak di pinggir hutan Donoloyo. Tidak seperti sekarang, pemandangan Desa Watusomo terlihat sangat kontras. Dahulu desa itu sangat sepi, belum banyak perumahan warga seperti sekarang. Sekeliling desa masih berbentuk hutan dan bukit. Terkadang, binatang buas seperti ular dan harimau masih kerap turun gunung. Mereka kerap berkeliaran di sepanjang hutan dan memasuki peternakan milik warga.

Pekerjaan yang rutin aku lakukan pada siang hari adalah bekerja di ladang. Mulai dari menanam pohong (ketela pohon), jagung maupun tanaman sayuran lainnya. Khusus untuk pekerjaan menjaga tanaman jagung sebelum panen, merupakan tugas yang cukup berbahaya. Pasalnya, ketika itu ladang yang berada di pinggir hutan Donoloyo masih banyak berkeliaran kethek (kera) dan babi hutan.

Suatu hari ketika diberi amanah kakek untuk menjaga tanaman jagung yang sudah hampir panen, tiba-tiba segerombolan kera berhamburan datang. Gerombolan kera tersebut tanpa permisi langsung menyerbu, layaknya pasukan kera Pancawati yang menyerang negeri Alengka dalam kisah pewayangan. Meski rasa takut menyergap, aku terpaksa memberanikan diri menghalau ratusan kera-kera itu dengan sebatang kayu. Tak hanya ayunan kayu, teriakan lantang pun kuarahkan kepada mereka. Aku berharap mereka segera menyingkir dari ladang. Namun, sejurus teriakan dan ayunan kayu tak membuat gerombolan kera itu mengendurkan niatnya. Mereka justru mengancamku dengan memperlihatkan taring runcingnya.

Karena serangan kera berjumlah ratusan, membuatku tak berdaya. Mereka rupanya memiliki strategi serangan yang tertata apik. Ketika aku mengusir gerombolan kera yang hendak mencabut singkong, kawanan lainnya mencuri kesempatan dengan mengambil jagung. Aku berpikir, mereka mempunyai akal dan insting mencuri yang bagus. Kerjasama mereka sangat kompak.

Selagi sibuk menghalau sekawanan kera, tiba-tiba di hadapanku muncul seekor kethek bangkotan, kera besar. Mungkin itulah sang raja kera. Badannya besar. Tingginya hampir sama dibandingkan anak usia enam tahun. Mengingatnya saja sudah membuat bulu kuduk merinding. Matanya merah menyala, taringnya besar dan tajam. Entah berapa lama aku berhenti bergerak. Yang teringat kaki dan tanganku terasa kaku, sulit untuk digerakan. Sejenak kera itu hanya diam sambil berdiri dengan kedua tangannya. Tak lama kemudian, kera itu menerjang dan mencengkram badanku dengan sangat keras. Aku terpelanting jatuh hingga terbanting ke tanah lalu semaput, tak sadarkan diri. 

Mungkin, lantaran melihat tubuhku tak lagi bergerak, aku dianggap takluk dan mati. Sebagai tawanan perang, raja kera yang mirip Subali—salah satu tokoh di cerita pewayangan--aku dipanggul memanjat ke atas sebuah pohon Jati. Kemudian kera itu membaringkan tubuhku tepat di antara dua cabang besar. Beruntung aku tak sadarkan diri. Mungkin akan lain ceritanya jika aku terbangun dan mulai bergerak. Pastinya cabang pohon Jati itu tak akan sanggup menahan gerak tubuhku, dan akupun tentu akan meluncur jatuh dan terbanting ke tanah.

Entah berapa lama aku pingsan di atas pohon. Menurut cerita masyarakat desa, aku masih beruntung bisa diselamatkan oleh adik kakek. Kebetulan saat itu Ia pergi ke ladang. Beliau mendapati tubuhku tersangkut di atas pohon. Kemudian dengan sangat sigap Ia segera memanjat lalu menggendong turun. Tentu bukan suatu pekerjaan yang mudah. Dengan kondisi tubuh yang masih lemas bercampur rasa takut, aku dibawa adik kakek pulang ke rumah. Para tetangga dan para orang tua menyambutku dengan tidak henti-hentinya mengucap rasa syukur.

“Mbah Pundhen Donoloyo dan para leluhur masih njangkung (melindungi) kamu Ko.. Woko...” ucap para tetangga. Peristiwa itu memberi hikmah tersendiri bagiku. Hanya Allah sebaik-baiknya pelindung dan Ia-lah penolong bagi manusia seperti termaktub dalam surat Al-Anfal ayat 41: “Sesungguhnya Allah Pelindungmu. Dia adalah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong”.
 
Setelah kejadian itu, Mbah Wedok (nenek) mengungkapkan rasa syukur dengan nyadran ke punden Donoloyo. Tradisi itu sebagai ungkapan rasa terima kasih kakek kepada para leluhur karena telah menjagaku atas serangan kera tersebut. Seperti itulah kepercayaan dan tradisi yang berlaku di desa kala itu.

Nyadran adalah tradisi masyarakat Jawa kuno dengan memberikan sesaji berupa masakan daging dari hewan ternak beserta jajanan pasar dan kembang tujuh rupa sebagai ungkapan rasa syukur kepada penguasa alam. Mbah Wedok percaya bahwa keengganan malaikat maut menjemputku bukan karena kebetulan belaka. Ia menduga masih ada campur tangan kekuatan gaib yang melindungiku.

Terutama perlindungan dari Eyang Danasari, atau lebih terkenalnya dengan Ki Ageng Donoloyo. Ia adalah pepundhen --arwah tetua-- hutan Donoloyo maupun dari para pendiri cikal bakal Desa Watusomo. Konon leluhur kami adalah sisa-sisa laskar Diponegoro yang kesingsal --tersesat-- sampai ke alas Donoloyo saat mereka melarikan diri dari kejaran pasukan Belanda setelah Pangeran Diponegoro ditangkap di Batavia.

0 komentar:

Posting Komentar

Sedhahan


Blog punika mugi dados sarana kangge sarasehan dhumateng sedaya sanak kadang mitra rowang gegandhengan kaliyan Biografi H. Soeparno Hadimartono ingkang sampun dipun terbitaken rikala tanggal 20 Pebruari 2010.

Sumangga ingkang badhe nderek nyerat utawi maringi pamrayoga kula sumanggaken...

Mugi saget ndadosaken suka rena saha pikantuk seserepan ingkang migunani sak sampunipun maos Biografi punika.

Matur nuwun.