1. Bapak - Simbok



Hidup itu seperti air, terus mengalir melintasi putaran waktu. Namun, hanya Tuhan yang mengerti kemana tujuan jejak perjalanan ini berakhir. Tak terasa tujuh puluh tiga tahun sudah telapak kaki ini menjejak bumi. Terlahir dari pasangan keluarga sederhana di Desa Watusomo, Kecamatan Slogohimo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.

Ketika bapak menikahi simbok, usia bapak sekitar 25 tahun dan usia simbok masih sangat muda sekitar 14 tahun. Namun, waktu itu anak gadis berusia 14-15 tahun sudah harus dinikah-kan karena pertimbangan ekonomi dan kepatutan. Masyarakat desa menilai anak gadis yang tidak segera dinikahkan akan menjadi aib bagi keluarga karena dianggap sebagai prawan kasep.


Sejak umur satu sampai empat tahun, aku hidup bersama kedua orang tuaku di Desa Geneng. Kedua orang tuaku menempati rumah di sebuah tanah pekarangan sebelah selatan kali pojok Desa Geneng, Padarangin. Kedua orang tuaku selain bertani, menggantungkan hidup dari berjualan buah varietas Jambu Semarangan.

Dari rumah sederhana itulah Bapak dan Simbok (ibu) lalu menorehkan sejarah anak manusia bernama Sewoko. Yah, itulah nama pemberian orang tuaku. Aku dilahirkan pada tanggal 6 April 1937. Bukan di sebuah rumah sakit berbintang maupun bantuan peralatan medis canggih seperti kelahiran bayi jaman sekarang. Namun, tangis pertama keluar dari mulut mungilku hanya disaksikan seorang perempuan tua sebagai dukun bersalin, dan bunyi puluhan jangkrik di pelataran gubuk tua milik ayahku.

Ayahku bernama Saridjo Martorejo. Ia adalah anak tertua Mbah Wonorejo, seorang mantan Kepala Desa Watusomo. Desa Watusomo sendiri terletak di ujung Kabupaten Wonogiri. Bapak mempunyai dua adik laki-laki bernama Marto Sayono dan Sajimin. Tak seperti anak-anak pada umumnya, kulalui masa bermainku sendirian tanpa figur ayah yang menemani. Itulah kehendak Tuhan. Ketika berumur tiga tahun ayah meninggalkan ku sendiri kembali ke hadirat ilahi. Hingga di penghujung usia senjaku, terkadang perasaan sedih melintas. Kerap diam-diam aku meneteskan air mata haru, terutama kala beban hidup semakin menghimpit. Aku ingin bercerita kisah nasib ini kepada ayah. Tetapi jangankan berkeluh, mengingat wajah ayah saja aku tak mampu. Untuk sekedar mengingat wajah ayah akhirnya suatu saat kuberanikan diri jua bertanya kepada adik kandung bapak. Ia bernama Marto Sayono.

“Napa dedeg-piadege swargi bapak kula niku nggih kados panjengan ta pak?” tanyaku kepadanya.
“Lha bapakmu ki bagus lho Ru,” ungkap Pak Marto. Paman memang sengaja memanggil namaku dengan sebutan Ru. Sebutan itu sebenarnya singkatan dari kata guru. Sebagaimana profesiku sebagai guru di Sekolah Dasar.

Belum juga kusambut jawaban Pak Marto, namun paman menuturkan lebih jauh tentang bapak. Paman berkata, penampilan bapak tak ubahnya seperti sosok Paklik Sajimin. Lik Jimin, demikian aku memanggil, adalah salah satu adik bapak.

“Dedege-piyadege kaya pakmu cilik Jimin kae. Gagah tur sugih ngelmu. Klebu wong dhugdhenge sak Watusama. Dasar anake kepala desa...” kenang paman terhadap alamarhum bapak.

Bapak memang dilahirkan dari keluarga seorang birokrat di Desa Watusama. Dahulu, kakek pernah menjabat kepala desa. Namun, aku tak begitu mafhum berapa lama kakek pernah menduduki jabatan elit di desa itu. Sejujurnya hati kecil ingin menelisik lebih jauh figur ayah kepada Pak Marto, entah mengapa asa itu terhenti. Mungkin kala kutatap paman yang mulai berkaca-kaca. Aku tak tega melihat kerinduan Pak Marto kepada bapak.

Bertahun-tahun penjelasan Pak Marto menancap di otak. Aku memang terobsesi untuk memajang potret ayah. Akan kubingkai dan kupajang di ruang tamu rumah, begitu pikirku. Namun, kembali lagi akal sehat menolak berkompromi. Mana mungkin mengambil foto dari orang yang telah tiada? Walhasil, kuputar otak ini lebih keras untuk mencari solusi. Hingga pada suatu hari, aku berpikir untuk menggunakan sosok adik bapak yaitu Lik Jimin. 

Akhirnya, Tuhan merestui pintaku. Suatu hari Lik Jimin berkunjung ke rumah sepulang dari pasar Slogohimo. Aku menempati rumah di Ngerjopuro Slogohimo, Kecamatan Slogohimo, Kabupaten Wonogiri. Tepatnya di utara kantor Kecamatan Slogohimo. Tanpa basa-basi, Lik Jimin aku seret menuju kamar tidur dan kupermak habis dengan busana Jawa lengkap menggunakan beskap dan blangkon. Sekali lagi Dewi Fortuna sedang melemparkan senyum manis kepadaku, karena kebetulan anak laki-laki ku bernama Undung sedang membawa kamera. Tak butuh waktu lama, prosesi pengambilan gambar Lik Jimin selesai sudah.

Melihat hasil yang cukup memuaskan, Undung langsung kuminta mencetak foto Lik Jimin dengan ukuran 10 R. Cukup besar memang. Namun foto itu cukup sudah memuaskan hati. Hingga sekarang, gambar foto Lik Jimin selalu berhasil meng-obati kerinduanku terhadap almarhum bapak walau hanya sebatas rekayasa.

Seiring perjalanan waktu, kunjungan Lik Jimin itu ternyata kunjungan terakhir ke rumahku. Selang beberapa waktu dia sakit keras dan akhirnya berpulang. Nampaknya dia berkenan ‘nyambangi’ keluargaku.

Berbeda dengan bapak, paras ayu simbok (ibu) kerap melintas di pelupuk mata. Simbok bernama Jainem. Dahulu, Simbok dikenal penduduk desa sebagai seorang perempuan yang elok. Simbok memiliki kulit putih bersih layaknya pualam. Satu hal yang masih kukenang hingga sekarang adalah busana kebaya dan kain jarik yang membalut tubuh simbok manakala berpergian. Simbok juga tak pernah lupa mengenakan selendang kesayangan dan payung motha yang waktu itu sedang ngetren. Sebagian besar masyarakat modern pasti sudah tak mengenal lagi payung motha. Payung ini terbuat dari anyaman bambu dan dihiasi dengan kain dibagian atas sebagai pelindung matahari.

Meskipun simbok dibesarkan di pelosok desa, namun Ia bisa dibilang keturunan dari keluarga yang cukup berada di Desa Bulutimun Tunggur, Kecamatan Slogohimo, Kabupaten Wonogiri. Pasalnya, pada tahun 1930-an rumah kakek sudah menggunakan tembok bata. Ini sangat bertolak belakang dengan bentuk bangunan rumah masyarakat kala itu. Kebanyakan bangunan fisik rumah di pedesaan pada medio itu hanya terbuat dari kayu dan bambu, atau kerap disebut rumah gedek.

Menurut cerita dari para tetua di desa, simbok memang berasal dari keluarga pedagang. Lantaran kehidupan mewah dan “mapan” membuat simbok menjadi pribadi yang manja. Waktu remaja simbok hidup dalam suasana serba ada, makan enak, pakaian bagus dan segudang fasilitas hidup dari kakek. Kebiasaan pola hidup itu, membuat simbok kurang bisa menerima keadaan ekonomi keluarga yang sedang susah. 

Masih membekas dalam ingatan, takala bapak meninggal dan tidak ada lagi penopang ekonomi keluarga kami. Saat kematian bapak itulah simbok memutuskan hengkang dari rumah, merantau. Kepergian Simbok ke kota memang lantaran dipicu faktor ekonomi. Terlebih ketika kebun dan sawah mengalami panen terburuk. Kebun dan sawah tempat kami menggantungkan hidup hancur lebur diserbu hewan kera dan babi hutan. Ya... Tuhan, saat itu adalah ujian terberat bagi kami sekeluarga.

Hanya kakek yang menggantikan peran ibu dan bapak kandungku lantaran simbok merantau ke kota. Kakek sangat setia menjaga dan merawatku sejak masih kecil.

Selang beberapa waktu, nasib simbok terdengar kembali. Ia berhasil menikah untuk kedua kalinya dengan seorang perwira polisi yang bertugas di Salatiga. Nama laki-laki itu adalah Bakin. Namun, pernikahan itu tak berlangsung lama. Setelah perpisahan dengan suami kedua simbok, Ia memutuskan pergi ke Kota Solo untuk mencari adiknya yang bernama Sadiyem. 

Menurut kakek, mbok cilik Sadiyem dulu tinggal di sekitar wilayah Gemblegan, Kota Solo. Dari sanalah Simbok kembali mulai membina biduk rumah tangga baru. Simbok akhirnya membina rumah tangga dengan seorang pria bernama Asma, seorang pekerja pembuat gribig, anyaman bambu.

0 komentar:

Posting Komentar

Sedhahan


Blog punika mugi dados sarana kangge sarasehan dhumateng sedaya sanak kadang mitra rowang gegandhengan kaliyan Biografi H. Soeparno Hadimartono ingkang sampun dipun terbitaken rikala tanggal 20 Pebruari 2010.

Sumangga ingkang badhe nderek nyerat utawi maringi pamrayoga kula sumanggaken...

Mugi saget ndadosaken suka rena saha pikantuk seserepan ingkang migunani sak sampunipun maos Biografi punika.

Matur nuwun.